Oleh Aril Bangka Kelas XI SMA Negeri 8 Poco Ranaka
Kopi pahit, beningnya hujan dan saya penikmat. Kopi bagi saya pelarian dari segala kegundahan. Dan hujan seperti teman yang menghibur di saat aku bersedih seorang diri.
Tahukah kamu aku menyukai rintik hujan yang menari-nari ketika jatuh ke tanah. Perasaan laksana hujan, tak pernah datang dengan maksud jahat. Keadaan dan waktulah yang membuat kita membenci dengan kedatangannya.
Dulu waktu kecil, kita sangat senang bermain air hujan, tetapi ketika dewasa makin takut akan hujan. Takut basah, takut urusan tertunda dan takut-takut lainya, sampai kita lupa bahwa hujan itu berkah.
Saya menyukai kopi pahit. Kopi tak sebening hujan dan hujan datang tak sehitam kopi.Tetapi kopi mampu menghangatkan siapa saja yang menikmati hujan. Itulah kopi pahit.
Terkadang orang baru sadar gula itu pengkhianat, dia bisa menghilangkan rasa kopi yang sebenarnya.
Saya lebih suka melihat hujan dari pada melihat rapat dari tikus kantor yang suka ingkar janji . Aku berusaha menelan dan menghilangkan filosofi itu dalam realitas kehidupanku. Menyeruput kepahitan demi kepahitan. Mencoba melawan segala kegetiran dan kekuasaan. Bersabar menuju ujung rangkaian, coba menyambut sebuah kisah inspiratifku. Sekali lagi aku dibuat tertawa oleh harapan yang sia-sia.
Adalah kebodahan menyamakan hidup dengan filosofi yang diucap oleh pencinta kopi. Sedangkan aku? Aku bahkan tidak pernah mampu menemukan rasa sempurna dari kopi yang kuseduh tanpa adanya hujan.
Perihal hujan dan secangkir kopi adalah cerita yang melegenda. Segala keluh kesah dan frustasi mampu hilang dengan perihal kopi dan hujan ada bersamaan. (*)
