Antara Amal dan Birahi Jabatan
Oleh Kanis Lina Bana*
Diskusi tentang masa jabatan kepala desa kian masif. Mulai dari warung kopi hingga aula terhormat DPR. Mulai dari barisan intelek jalanan hingga guru besar di lembaga tinggi. Mulai dari kampung udik hingga jantung kota. Semuanya jadi seru. Berlatar pengetahuan dan perspektif masing-masing. Dari setengah mengerti dan kabur hingga pendasaran teori macam-macam. Semuanya liar. Tak terbendung di tengah percaturan politik kepentingan.
Hemat saya, ini normal di era demokrasi setengah dewasa seperti di Negara kita ini. Apalagi Orde Reformasi sekarang ini. Semua pihak boleh berteriak. Semua orang punya hak untuk mengatakan apa saja. Orde Reformasi memang baik adanya, tapi bablas pemahamannya sehingga bikin repot. Tak anya, para kades ngotot menuntut jabatan mereka harus sembilan tahun. Mereka mendatangi jantung penyelenggaraan pemerintahan, lalu menggelar aksi.
Intinya, mereka mendesak agar masa jabatan enam tahun dinaikkan jadi sembilan tahun. Karena itu formula jabatan kades sebagaimana diatur UU No. 6 Tahun 2014 harus direvisi. Terutama pasal 39 ayat 2 khususnya pada diktum enam tahun masa jabatan kepala desa. Sementara diktum selanjutnya pada pasal itu tetap dipertahankan. Yakni, batas maksimal tiga kali mencalonkan diri.
Jika dikalkulasi sesuai pasal tersebut-terpilih kembali berturut-turut, jabatan kades jadi 18 tahun. Tetapi usulan mereka malah jadi sembilan tahun sehingga jabatan kades-jika terpilih tiga kali berturut-turut bakal lebih dari seperempat abad.
Hemat saya, apa yang diperdebatkan itu jadi menarik bukan saja durasi waktu jabatan kadesnya, tetapi risiko yang menimbulkan bumerang di kemudian hari. Sebab semakin lama menjabat, semakin leluasa pejabat tersebut mengatur kehendak hati dan tujuan yang hendak dicapai. Esensi jabatan sebagai pelayan jadi kabur. Antara jabatan, uang, dan salera “selangkangan” jadi sirkulasi “magis” yang bakal dimainkan. Dirawat hangat sambil memasang kuda-kuda untuk nyaman di segala lininya.
Saya terpanggil diskusikan materi ini melalui ruang bergengsi ini, di satu sisi, bukan karena kehendak bebas meleburkan diri dalam pusaran kepentingan, tetapi semata-mata jalan tengah sumbangsih pikiran untuk menjernihkan pemahaman kita bersama. Meski apa yang saya sampaikan ini sebatas refleksi dan ketukan bahasa batin agar genderang yang telah ditabuhkan ini mencapai titik simpul yang menyelamatkan. Agar kades tidak terjebak pada arena bebas seraya menciptakan kemampanan diri dan keluarganya. Sebab fakta yang terjadi selama ini, cerita pedas tentang kades bukan rahasia lagi. Bahkan telanjang dan menakutkan dalam serba warna dan tragedinya.
Di sisi lain, masa jabatan kades dari enam tahun jadi sembilan tahun lahir dari perspektif yang dapat diterima logika sehat pun antithesis sesat menghanyutkan. Padahal masa jabatan enam tahun saja, banyak pejabat pemerintahan desa ramai-ramai nginap di hotel pordeo. Apalagi lebih lama masa jabatannya, hanya segelintir kades yang bakal nyaman dalam amal pelayanannya. Dan itu hanya berlaku bagi pejabat kades berakal waras, tidak panjang tangan dan spirit pelayan sebagai ibadah. Jika seperti itu “kuartonya, maka jabatan kades jadi bagian moralitas pelayanan.
Memang jika kita atret sejenak, jabatan kades memiliki peradaban jejaknya. Sesuai referensi dan catatan sejarah sudah mencapai lebih dari dua abad. Berawal pada tahun 1814. Disebutkan pemilihan kepala desa bertujuan mencari orang yang paling berpengaruh di suatu wilayah desa dengan tugas menagih pajak. Proses pemilihannya berlangsung setiap tahun antara bulan Nopember atau Desember.
Namun perkembangan selanjutnya berubah seiring lahirnya PP No. 212 Tahun 1907. Regulasi tersebut menyatakan jabatan kepala desa berlangsung seumur hidup. Tetapi ketika Jepang berkuasa masa jabatan kades dibatasi, tetapi tugasnya diperluas. Terutama mengawasi rakyat dalam kegiatan budidaya tanaman yang dikhendeki Pemerintahan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 sebagai penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1945. Di sana diatur pokok-pokok pemerintahan desa. Salah satu butir pentingnya menetapkan pemerintahan desa berhak mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan secara otonom.
Namun pada masa Orde Baru, produk hukum yang mengatur pemerintah desa berikut hak-haknya menjadi tidak jelas dan relevan. Produk hukum UU No. 6 Tahun 1965 justru mengebiri hak-hak pemerintahan desa. Akibatnya pemerintahan desa jadi tidak jelas.
Sistem pemerintahan desa menjadi jelas ketika UU No. 5 Tahun 1979 diterbitkan. Berikutnya diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 6 Tahun 2014. Produk hukum terakhir itu berlaku hingga saat ini.
Lalu mengapa kepala desa menuntut tambah jangka waktu jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun? Apakah sekadar menambah deret sejarah pergulatan jabatan kades? Atau ada nuansa lain demi kenyamanan dan kemapanan.
Nampaknya para kades yang perjuangkan masa jabatan jadi sembilan tahun penuh intrik politik. Sebab mereka menyampaikan aspirasi tersebut ketika berada di fase penting dan menentukan. Fase di mana partai politik dan petinggi partai sedang berjibaku menuju arena pentas pemilu serentak 2024 mendatang. Kades hendak menyodorkan posisi tawar dan menakar partai mana yang mendukung kehendak kades itu. Yang kemudian menjadi titik bidik untuk dipilih.
Padahal masa jabatan enam tahun ditambah “asupan” dana desa Rp 1 M belum terlihat quari eksennya. Malah sebaliknya banyak kades berulah. Banyak kades berurusan dengan aparat penegak hukum. Banyak kades harus merayakan kehangatan jabatan di lembah sengsara. Jangan-jangan gelora napsu dan birahi jabatan hanya mengamankan hasrat berkuasa. Agar kemudian pundi-pundi koin semakin gemuk sehingga pentas pilkades berikutnya melenggang dengan bebas.
Padahal yang utama bukan lamanya durasi waktu menjabat, tepai amal ibadah untuk melayani sesama. Apalah artinya sembilan tahun, jika enam tahun saja tidak mampu mengemban amanat rakyatnya.
Semoga rentang waktu sejengkal itu selalu ada hajat yang menyelamatkan banyak nyawa. Mudah-mudahan! (*)
Penulis Jurnalis tinggal di lorong Ambisi, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong-Manggarai Timur
