“Aspira” Sebagai Inspirasi

Oleh : Alfred Tuname*

“Aspira” itu akronim dari “aspirasi, pikiran dan rasa. Akronim itu dicomot dari sebuah majalah sekolah, tepatnya AsPiRa, majalah dapur ilmiah SMPN 5 Borong, Manggarai Timur. Majalah itu tidak biasa, sebab “isi”dan kemasannya bernilai berlian.

Di majalah AsPiRa, civitas academia SMPN 5 Borong berbondong-bondong menuangkan semua pikiran dan rasa. Terasa sangat orisinal. Guru dan murid tampak beradu kata dan frasa dalam arus yang sama: literasi. Lalu, pikiran dan rasa itu menempuh ujungnya, yakni aspirasi.

Nah, gerakan literasi itu bukanlah “gerakan gosong” (empty gesture). Gerakan itu mesti berisi aspirasi. Melalui pikiran/ide dan rasa, aspirasi itu terbaca tersirat pun tersurat. Hal itu mensyaratkan, konten pikiran itu tertata dan kontekstual; timbunan rasa pun menyentuh asa, bukan sentimen.

Pada AsPiRa, sesuatu yang kontekstual dan harapan itu digarap dalam varian bentuk tulisan yang apik. Ada esai, opini, cerita, drama dan puisi. Semua itu tentu bukan sekadar untuk merapikan isi kepala dan meluapkan rasa. Semua itu adalah usaha agar civitas akademika terbiasa (habitus) berekspresi dan resisten terhadap aksi plagiasi. Berekspresi itu built-in dalam merdeka berpikir.

Melalui suara redaksi, ada semacam tekad kuat untuk terus merawat akal (:terus berpikir) sembari menghaluskan budi. Tekad itu ditanamkan sejak AsPiRa edisi perdana. Kini, majalah itu sudah edisi ke-2. Semoga kerja didaktis ini tidak patah arang. Bukan karena tuntutan Sekolah Penggerak, tetapi karena tuntunan profetis-pedagogis: memanusiakan manusia. Maka, kalau pun program Sekolah Penggerak itu hilang-tenggelam, AsPiRa tetap terbit. Setidaknya itu harapan publik penikmat karya literasi. 

Tentu sekolah juga punya kiblat sendiri. Bahwa para guru mesti meningkatkan kemampuan literasinya sendiri. Dengan menulis, sekolah bisa mendeteksi dini kemampuan guru. Para guru pun bisa saling belajar dengan “mengintip” ide-ide yang ditulisnya. Guru yang terus menulis akan sangat mudah mengajak dan mendorong para siswa untuk menulis dengan baik.

Bahwa pengetahuan dan keterampilan mesti seiring. ada semacam “learning by doing”. Di sini, sembari pendidik mengembangkan diri, anak didik terus didorong untuk berkarya. Jika pada tingkat SMP, remaja kita sudah giat berliterasi (menulis untuk bulletin sekolah), maka pada jenjang selanjutnya mereka akan bekembang (:cerdas dan hebat).

Perkembangan remaja kita pasti akan mengejutkan, apalagi didukung oleh pesatnya perkebangan teknologi informasi (digital). “Melalui teknologi, siswa/i mampu mendapat informasi yang akurat, mampu berdaya saing dengan mengembangkan sumber daya serta peka terhadap tanda-tanda zaman”, tulis Karel Kristen Arsima, S.Pd. Refleksi Kepsek SMPN 5 Borong ini sangat baik. Dasar itulah yang membuat ia “putar otak” untuk terus berbuat lebih untuk sekolah dan anak didik.

Remaja sekolah tingkat SMP merupakan bagian dari generasi Z. Mereka adalah digital native generation: lahir dan tumbuh saat teknologi digital berkembang sangat pesat. Mengutip Don Tapscott (2009), ciri dari generasi ini adalah senang melakukan personifikasi, suka kebebasan, suka informasi cepat dan instan, suka belajar sesuatu yang inovatif, kolaboratif dan hyper technology.

Majalah Aspira- Penulis foto bersama dua orang siswi pengelola Majalah Aspira SMPN 5 Borong dan dua orang guru pendamping. Foto/ist

Nah, para guru mesti memahami psiologi-sosial remaja itu. Kalau bukan guru-guru senior, guru-guru muda mesti akrab dengan cara berliterasi pada remaja generazi Z tersebut. Bahwa mereka tampaknya butuh tuntunan dan ruang ekspresi. Tuntunan, agar berbagai teknologi digital yang akrab degan generasi Z dapat menjadi perkakas penunjang pembelejaran yang kreatif dan inovatif. Ruang ekspresi, agar remaja sekolah dapat bisa mencurahkan segenap bakat dan minatnya.

Melalui AsPiRa, sekolah SMPN 5 Borong, telah lama memulai menemukan ruang minat dan bakat bagi anak didik. Dengan perkakas digital, anak didik dapat mengumpulkan dan membandingkan data dan informasi penting bagi kehidupan mereka. Dengan majalah, mereka dapat mengekspresikan apa yang sesak di pikiran dan perasaannya. Jadilah tulisan yang dapat dinikmati oleh orang lain.

Harapannya, akan muncul “AsPiRa-AsPiRa” lain di masing-masing sekolah di seantero Manggarai Timur. AsPiRa sangat baik dijadikan inspirasi. Tak sulit, asal ada niat bergerak bersama. Aspirasi, pikiran dan rasa para Kepsek dan guru perlu serentak bergerak mengisi “ruang kosong” literasi di Manggarai Timur.

Semarak literasi mesti dirayakan bersama. Kadar kemampuan menyimak dan bertutur kita sudah baik. Hanya perlu di-upgrade dengan kebiasaan membaca dan menulis. Dengan begitu, tak kurang naskah untuk baca; tak kurang buku untuk didiskusikan. Semua itu karya anak-anak kita; karya generasi kita.  

Selebihnya, biarlah masyarakat mendukung dengan caranya masing-masing. Prestasi siswa-siswi kita adalah kebanggaan masyarakat, bukan hanya kebanggaan orang tua dan sekolah. Sekolah yang terus memunculkan prestasi anak didik, akan mendapat simpati masyarakat, dan pastinya akan kewalahan menerima siswa baru yang membludak.

Itu salah satu resultante manakala para pendidik terus mendorong anak didik untuk terus berprestasi. Berprestasi dalam hal apa saja itu baik. Prestasi itu dimulai dari simak, bicara, baca dan tulis. Keliru dalam hal menyimak, berbicara, membaca  dan menulis, prestasi yang diinginkan itu akan “jauh pangang dari api”.  

Akhirnya, profisiat untuk SMPN 5 Borong. Teruslah menginspirasi. Api AsPiRa telah menyala, jangalah ia suram dan padam. Salam literasi!

Penulis adalah Esais  dan penulis buku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: