Bola Memang Telanjang

Kanis Lina Bana/ist

Oleh Kanis Lina Bana*

Bola memang telanjang. Tanpa kostum warna-warni. Murni telanjang bulat. Ia berguling, menggelinding di atas ‘pemadani hijau’. Kepada benda seberat 16 ons itulah,  40 Tim Laki-Laki dan 32 Tim Perempuan-remaja lepas landas SMA/SMK se-Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT “berseteru”.  Mereka memperagakan kecerdasan, ketangkasan dan skill ketika berhadapan dengan benda bulat itu.

Di Lapangan Seminari Pius XII Kisol dan Lapangan Sere-Tanah Rata para peserta berjumpa. Berkompetisi,  mempelihatkan apa yang oleh Dhimam Arbor Djuraid disebut, “larger than life- lebih besar dari kehidupan. Mereka terus mengejar, menendang, penetrasi ke gawang selama dua kali 45 menit. Dalam pentas tersebut, tak pelak benturan fisik antara pemain terjadi.

Tetapi dalam ketelanjangan benda terbuat dari kulit sapi kering ini mengajarkan sportivitas berkompetisi. Kejujuran bermain. Kepiawaian bagaimana seharusnya memperlakukan terhadap sesama, tanpa basa-basi.

Sebab bola-sepak bola, tidak saja memantik dua kemungkinan, menang atau kalah. Melainkan  sarana ampuh ‘eskapisme’-sarana  melepaskan diri  dari kesumpekan hidup. Ketika hampir tiga tahun lewat, kita umumnya dan siswa-siswi khususnya, terpaksa rehat ada bersama di kelas akibat deraan covid-19. Ketika kita harus bergulat dalam kesendirian di rumah. Ketika kita tercerabut dari peradaban bersesama. Ketika kita harus berjuang merengkuh sinyal untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru. Sebab covid-19 itu  menakutkan. Siap menggarong tanpa maaf, ketika kita lengah sebentar.  

Kita kembali ke Lapangan Seminari Kisol dan Sere-Tanah Rata. Sebagaimana kompetisi pada galibnya menautkan kemungkinan kalah atau menang, tetapi tidak menjadi alasan meraih dengan segala cara. Atau dalam Asinaria-nya  Plautus sebagai  homo homini lupus. Tetapi  ada koridor mengaturnya. Ada rambu-rambu yang harus ditaati pemain. Wasit selaku hakim mengatur irama ketika pentas itu diperagakan. Agar ‘fair play’ sebagai dogma peradaban permainan terawat dengan sungguh cerdas berakal memanjakan mata dan emosi.  Karena itu tim beranggotakan sebelas orang itu wajib tunduk taat pada aturan main-role of the game-nya.

Selasa (7/6/2022) saat senja sedang merayap  ke peraduannya. Saya bersama Bapak Leonardus Jafar (Ketua PPMN Manggarai Timur) menyaksikan pertandingan kesebelasan SMAN-5 Elar kontra SMAN 4 Kota Komba.  Jalannya pertanding sempat ditengarai rintik kencing langit. Namun “lawatan” itu tidak meluntur energi pemain. Mereka tetap bertanding. Mempertontonkan kecakapan  skill bermain bola.  Hingga pluit panjang berakhir, Tim SMAN 4 Kota Komba berhasil ‘jinakkan’  permainan SMAN 5 Elar dengan skor meyakinkan. Sementara gawang SMAN 4 Kota Komba tetap ‘perawan’.

Hemat saya, Tim SMAN 5 Elar menyadari kekalahan yang mereka alami, bukan karena tidak tahu bermain bola. Tetapi lebih dari itu istirahat panjang dampak Covid-19 selama tiga tahun punya adil. Tetapi lebih dari itu, pertandingan tersebut menjadi media mengalihkan konflik yang selama ini sesak akibat serangan maut bernama covid-19  menjadi  “sakramen kehidupan”.

Sebab nuansa permainan yang digemari  makhluk penghuni kolong langit ini, meski penuh tegangan, tetapi sekaligus menjadi  hiburan segar.  Memanifestasikan  sublimasi rivalitas menjadi kompetisi  ‘bersesama’ memuliakan kedudukan makhluk berbudi,  ketika covid-19 yang menenteng maut itu pamit pergi.

Apalagi hukum kompetisi  telah ‘terbungkus’ apik ketika sesama pemain saling menatap dan tos-tosan saat  memasuki lapangan. Dan di lapangan yang ‘didandani” rumput hijau itu siswa-siswi SMAN 5 Elar dan SMAN 4 Kota Komba mementaskan hiburan. Hiburan itu  bakal ‘ditayangkan’  72 tim  laki-perempuan selama bertanding berlangsung. Bravo MKKS SMA/SMK Manggarai Timur yang telah menghadirkan layar pentas menghiburkan. Perayaan kehidupan bersesama di tingkat SMA/SMK.

memang, sepak bola memiliki sejarah panjang. Saya ajak kita sekalian pulang ke masa lalu. Mendarat di Dinasti Han, Negara-nya penghuni mata sipit-China, sekitar abad ke-2 dan ke- 3. Dari sana  bergeser ke Zaman Mesir kuno, Jepang, Yunani dan Romawi. Di sana kita temukan jejak permainan itu  terekam dalam berbagai relief. 

Dalam jejak sejarah itulah, Marianus Kleden, menggambarkan bagaimana orang memainkan buntelan kain linen atau kantong kemih babi dan sapi yang ditiup. Permainan itu meski lebih menunjukkan keperwiraan dan kejantanan, tetapi nuansa rekreasi dan hiburan jelas tergambar.

Selanjutnya permainan itu mengubah wajah. Bahwa sepak bola tidak saja melibatkan seluruh emosi dan menjadi bagian integral perjuangan hidup, melainkan telah  bertumbuh menjadi semacam agama sipil. Karena itulah sejarawan sepak bola, Bill Shanly, kecewa ketika sepak bola sebatas perjuangan hidup mati. Menurutnya, sepak bola jauh lebih dari itu.

Berpijak dari kegelisahan Bill Shanly,  boleh saya katakan sepak bola, hasil kreasi MMKS SMA/SMK se-Kabupaten Manggarai Timur mengajarkan kita dua dimensi sekaligus;  individu dan  sosial. Sebagai individu, pemain bola menjadi titik pusat bersatu dalam tim beranggotakan sebelas individu-makhluk sosial. Atas nama tim mereka berkompetisi sesuai role of the game-nya bola yang dikawal wasit.

Semoga pertandingan yang masih berlangsung ini mengajarkan kita apa itu  part of solution,-bagian dari solusi sehat  ketika covid-19 pamit.  Bukan sebaliknya jadi part of problem- bagian dari masalah yang meremukan  sejumput harap, sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah di di republik ini.  

Bola memang telanjang. Telanjangnya bola mengajarkan  seni dan keindahan. Semoga dalam ketelanjangan bola kita berlierasi. Merayakan permainan bola sebagai sakremen hidup yang segar menghibur. Semoga! (*)

Penulis adalah Pemimpin Umum Denore.id/anggota FTBM dan  PPMN Manggarai Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!