Oleh: Kristian Emanuel Anggur*
Sekolah-sekolah kita, telah lama terpola pada kurikulum lama. Telah terbentuk dan tersistematisasi pada mimbar kelas. Seperti KTSP, K13, merupakan turunan langsung dari kurikulum Orba. Sifat dan tabiatnya, sangat militeristik. Alias sentralistik melalui pola penyeragaman wajib. Siswa harus bisa menjawab cepat, dan tepat. Rombongan belajar, sangat bergantung pada mimbar kelas dan guru-guru formal. Metode yang digunakan, masih didominasi oleh sistem hafalan. Kecerdasan siswa diukur dengan kemampuan mengingat, atau memorisasi. Walaupun kemampuan mengingat, tidak berkaitan dengan potensi kejenialan bakat an sic dari kedalaman diri anak. Anak-anak dipaksakan untuk hafal. Mereka tidak diarahkan untuk belajar menyelesaikan tugas, kreatif menulis, mengerjakan tugas prakarya, bereksplorasi, eksperimen, penemuan, dan inovasi melalui proses kerja langsung.
Materi ujian yang diberikan oleh para guru formal, lebih mirip seperti menguji kemampuan mengisi kupon putih. Atau, mirip perjudian dengan menebak angka togel. Misalnya, sistem obyektif test, pilihlah jawaban A, B, C, dan D jika benar. Atau, tebaklah B jika benar dan S jika salah. Ini belum terhitung dengan bocornya kunci jawaban, nyontek saat ujian, sistem joki, dan orang dalam (MAO: Manga Ata Oné).
Kurikulum lama hanya berorientasi pada hasil. Tujuannya, tidak lain, untuk memperoleh nilai tinggi, kejuaraan (ranking), kelulusan, ijazah, gelar, dan hadiah. Setelah lulus sekolah, dan diterjunkan ke masyarakat untuk menggeluti dunia kerja, semua materi pelajaran yang pernah dihafal di sekolah, perlahan-lahan lupa. Praktisnya, mereka tak bisa mengerjakan sesuatu. Bingung! Mulai dari mana? Justru mereka inilah yang kemudian diandalkan untuk membangun bangsa dan Negara ini. Mungkin inilah penyebabnya, para lulusan kita sukses mendirikan Bandar judi togel di hampir semua pelosok desa. Juga sangat lihai untuk bersembunyi, tanpa terdeteksi. Ini juga penyebab adanya hoax, ujaran kebencian, dan perilaku radikal dan intoleran.
Expo pendidikan Manggarai Timur Tahun 2022, dalam rangka memeriahkan Hardiknas yang disatukan dengan Hari Kebangkitan Nasional, menjadi momentum tepat untuk berefleksi. Momentum emas ini, tentu dirancang oleh orang-orang istimewa yang bergerak di belakang layar. Kolaborasi berbagai gagasan cemerlang yang melahirkan perubahan. “Kita mesti kembali ke asal. Kembali ke gagasan awal, seperti dicetuskan pakar Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara”, demikian Kadis PPO Manggarai Timur, Basilius Teto, dalam laporannya. Menurutnya, “kurikulum ‘Merdeka Belajar’ yang dicetuskan oleh Menteri Pendidikan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, sesungguhnya sudah 100 tahun digagaskan Ki Hajar Dewantara-tokoh pendidikan Indonesia.
Expo pendidikan yang didesain dengan tema: “Serentak Bergerak, Wujudkan Pelajar Pancasila,” menampilkan kegiatan berbagai mata lomba. Perlombaan, hanyalah suatu strategi awal untuk memantik semangat dan motivasi sekolah dalam menyambut kurikulum merdeka belajar. Antara lain, talkshow, lomba bertutur, lomba pidato dan lomba vocal group. Ajang kompetisi antar SD dan SMP se-Manggarai Timur, tidak berorientasi untuk memperoleh hasil, nilai, kejuaraan, piala dan hadiah semata. Tetapi, sasaran utamanya adalah pada proses belajar, keterlibatan, kreativitas, motivasi dalam menghasilkan karya-karya inovasi yang mereka kerjakan. Dinilai dari tujuan dimaksud, maka seluruh peserta, dinyatakan sebagai “juara.” Mereka telah berprestasi menjuarai lomba di tingkat kecamatan. Mereka adalah anak-anak hebat. Anak-anak pilihan. Juarawan yang telah melewati seleksi ketat dari tiap sekolah di tingkat kecamatan. Bahkan para juri mengalami kesulitan dalam memberi penilaian. Oleh karena itu, poin yang diperoleh di atas kertas, piala dan hadiah yang diterima, hanyalah sebuah motivasi awal untuk mengapresiasi terhadap proses kerja, keterlibatan, kreativitas dan ketekunan belajar mereka.
Apa itu merdeka belajar? Anak-anak tidak lagi tergantung pada mimbar kelas dan guru formal. Mereka tidak lagi diwajibkan menghafal hanya untuk ujian. Tetapi belajar untuk hidup. “Non scholae sed vitae discimus (Belajar bukan untuk sekolah, tapi belajar untuk hidup).” Metode belajar yang diterapkan, dimulai dengan bermain. Sejalan dengan pencanangan Manggarai Timur sebagai kabupaten ramah anak. Mereka harus gembira bisa berguru pada orang-orang di lingkungan bermain, bahkan di luar kompleks sekolah. Berguru pada orang-orang yang memiliki keahlian di bidangnya. Oleh Ki Hajar Dewantara disebut Taman Siswa. Demikian, inti sari sambutan bupati Agas Andreas, pada penutupan lomba. Bereka mulai dengan pola proses. Belajar mengikuti proses mengerjakan susuatu. Sambil bermain, anak-anak belajar pengetahuan, pengalaman, ketrampilan serta kearifan hingga di luar kelas. Yaitu, melalui guru-guru nonformal, atau tokoh-tokoh yang berbakat pada bidang tertentu.
Expo pendidikan dalam kaitannya dengan merdeka belajar, anak-anak diberi kebebasan untuk memilih pelajaran yang disukainya. Belajar pada tokoh idolanya, sekaligus mentor yang disenanginya. Misalnya, siswa yang berbakat menari, bisa belajar pada guru tari, membeli buku-buku seni tari, mengikuti festival atau lomba menari. Mereka mulai melatih diri, menulis tentang berbagai aliran seni tari tradisional Indonesia atau tari moderen. Dari situ mereka bisa menciptakan koregrafi gerak tari kreatif, hingga mendirikan sanggar seni tari (sendratari) sendiri. Pada saatnya nanti, mereka akan menjadi guru tari dan hidup dari menari. Mereka akhirnya menjadi ahli atau pakar seni tari. Demikian juga bagi yang berbakat olah raga, menulis, melukis, dan ketrampilan lain. Maka, pada kurikulum merdeka belajar, tidak ada anak yang bodoh. Intinya, anak-anak bisa mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan bertanggungjawab. Di sinilah pentingnya berliterasi.
Dari sekedar nguping, sejak talkshow, saat pelaksanaan lomba, diskusi atau cerita lepas dan guyonan sambil minum setelah usai kegiatan, ada mutiara yang penulis petik. Di tengah kesibukan panitia pelaksana Expo Pendidikan Matim, sejak tanggal 17-20 Mei 2022, penulis merekam adanya harmoni kekompakan, kerja sama yang solid dan pengorbanan tulus. Hadirnya Sekdis, Kraeng Rofin Hibur Hijau, Pak Kabid, Vinsen Tala, Bruno Ismail, Victor Ling, Gusty Rahmanto dan Alfred Tuname, menjadi teman sharing yang setia hingga larut malam, sekaligus potensi untuk Manggarai Timur. Menjalin kekompakan kerja sama tim, menjadi kekuatan kualitas insani di belakang layar. Mereka juga tidak hanya menonton dan berpangkutangan. Walaupun menemukan banyak kendala, mereka telah mendesain kegiatan dengan sukses. Apresiasi positif, penulis bersama dewan juri, patut angkat topi. Terima kasih dan salut, semoga transformasi pendidikan demi merdeka belajar di Manggarai Timur, semakin maju. (*)
Penulis adalah pustakawan, penulis buku, pemerhati budaya, dan pendidikan
