Catatanmu Sudah Titik Mengenang Kakekku Romanus Riu
Oleh Kanis Lina Bana*
Menatapmu dalam peti, tergurat jelas keteduhan. Anggun. Aroma tubuhmu mewangi. Mata terpejam. Seperti pada puncak nyenyak. Dan memang tidur panjangmu tak terusik lagi pergulatan derita kurang lebih tiga tahun terakhir.
Mataku tak meneteskan bulir bening. Saya menatapmu dalam-dalam. Meski duka sedang sesak. Menyiksa dalam lara. Namun tidurmu yang lelap nan syahdu membahasakan napas iman.
Mama kecilku, Dhora, Dis dan Safrin serta beberapa keluarga pun demikian. Kecuali Mama Tiel-putri bungsu almarhum tak kuasa menahan tangis. Suaraya sudah serak dan sesak. Namun potret sejengkal di RSUD Lehong, Minggu (12/3/2023) menjadi butir penghayatan ibadah. Kepergian Kakek Romanus sudah diterima dalam iman. Bahwa kematian meski menyiksa jiwa menanak lara, toh pada kedalaman iman dan ekstase penghayatan, kematian dihayati sebagai bentuk perayaan iman.
Opa, Romanus Riu, bagi saya adalah kakek yang telah menulis banyak hal. Hidup dan kehidupannya adalah tarian hati dan iman yang senantiasa berguna bagi banyak orang. Buku catatannya memuat setumpuk pengharapan. Mengisah titian perjuangan. Dan semua harapan dan buku cacatan kehidupannya itu senantiasa dia tebarkan kepada siapa pun.
Kakek saya, Romanus Riu, anak kelima dari tujuh bersaudara buah kasih Bapak Gaspar Jala dan Mama Veronika Noa. Lahir 7 Januari 1932. Dan meninggal dalam usia 91 tahun. Saudara-saudari Opa Romanus adalah; Nggai Noa, Ndegho, Meka Ngale, Mbupu Agha, Anton Seong dan Ene Yus Landang. Setelah kepergian Veronika Noa, Meka Gaspar Jala menikah lagi dan dikarunia dua orang anak lagi. Jadi total mereka dalam satu keluarga sembilan orang.
Turunan Gaspar Jala vamili menyebar ke mana-mana. Dan kematian Romanus Riu menjadi jembatan peradaban, meski dalam duka nan sesak. Menyahut dalam rasa dan mengalir dalam rajutan jumpa adalah puncak-puncak rindu.
Saya sendiri-penulis lapis ketiga turunan Meka Jala dari Suku Motu. Nggai Noa-anak perempuan Meka Jala menikah dengan Gaspar Bana asal Suku Nggeli. Melahirkan Theresia Djeok. Jeok menikah dengan Markus Bana hingga lahirlah kami tujuh bersaudara. Secara hukum adat Suku Motu, termasuk Kakek Romanus Riu menjadi anak rona Suku Nggeli. Dalam konsep adat Anak Rona-ata dhete ulu-pegang, mengatur jalinanan kehidupan.
Sejak kecil saya mengenal Kakek Romanus. Sebab saya sering ikut Oma Nggai dan Opa Gaspar Bana berkunjung ke Mbero. Kunjungan ke sekian kalinya, dan ketika saya mulai mengerti, saya mulai kenal dekat Kakek Romanus.
Kakek Romanus menikah dengan Oma Helena Sendang. Namun saya tak mengenal rupannya. Sebab ketika saya ada dan beranjak usia sekolah Oma Helena sudah meninggal dunia. Namun ketika saya berkunjung ke rumah Opa Romanus sudah ada Oma Juli. Kemudian baru saya mengetahui alasan kehadiran Oma Juli. Oma Juli menikah dengan Opa Romanus.
Hasil perkawinan Opa Romanus dengan Oma Helena Sendang ada lima anak. Dua laki dan tiga perempuan. Sayangnya dua putranya itu sudah meninggal. Kemudian Oma Helena menyusul dua putranya itu. Sementara pernikahan dengan Oma Juli ada Om Aleks, Om Hery dan Mama Tiel-demikian saya biasa menyapa demikian. Mama Tiel-putri bungsu Opa Romanus.
Rumah Opa Romanus berhadap dengan gereja. Rumah panggung. Pada teras rumah-sedikit menjorok ke depan ada satu satu kamar. Kamar pastor Rm. Rene Daem, Pr. Maklum Opa Romanus guru gama untuk wilayah Mbero. “Ndau kamar ema pastor. Mae dheke zeta kamar ndau!”- Itu kamar untuk pastor dilarang masuk atau bermain di dalam kamar atau teras kamar itu,” demikian pesannya.
Saking seringnya saya ke Mbero, hingga mengenal luar dalam dinamika kehidupan orang Mbero. Hampir semua keluarga saya kenal. Ketika melihat saya, beberapa warga selalu katakan, “ ndia ame Kanis ata rita ndai piring riki na!”-Ini Kanis yang dulu menangis minta piring mangkok bunga tu!
Konon seturut kisah lisan, suatu kesempatan, ada hajatan adat di rumah besar Suku Motu. Saat itu ketika jam makan berlangsung, saya menangis jadi-jadinya karena pada saat suguhan makanan kepada saya tidak lagi menggunakan piring riki- bunga itu. Karena itu saya menangis minta ganti dengan piring riki-bunga. Kemudian saya tahu piring bunga tersebut sebenarnya milik Gaspar Jala-yang sesungguhnya tidak bisa digunakan di setiap waktu.
Meski demikian, untuk menghentikan saya yang kala itu menangis mereka hantar piring dimaksud. Atas peristiwa itulah, kemudian saya-Kanis lebih dikenal Kanis piri riki. Sapaan itu- hingga kini masih berlangsung-khususnya mereka seusia mama saya.
Bapak Makus Bana bertemu Opa Roamus Riu beberapa tahun lalu. Foto/dokumentasi KLB
- Prinsipil tapi Santun
Opa Romanus dikenal sangat prinsipil dalam hidupnya. Termasuk memutuskan untuk menikah. Konon diceritakan, saat beranjak dewasa, ketika pemuda seusianya mulai menikah, Opa Romanus justru menundanya. Dia lebih memilih menyiapkan masa depan. Berkebun, menanam tanaman produktif untuk kehidupannya. Karena itu syahadat janjinya adalah menikah jika kelapa yang ditanamnya sudah berbuah. Tidaklah mengherankan jika Opa Romanus akhirnya menikah ketika usianya sudahlewat kepala tiga.
Opa Roamus tipe hemat kata. Cermat, teliti, dan tepat menyampaikan pikirannya. Baik untuk kepentingan dalam suku maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Dia dikenal sosok yang keras dalam prinsip, tapi santun dalam cara. Kesaksiannya lebih pada perbuatan. Kata diterjemahkan dalam tindakan.
Tahun 1965-2003 didampuk sebagai Guru Gama untuk wilayah Mbero. Saat itu Mbero masih wilayah Paroki Wae Rana. Bergabung dengan Paroki Kisol pun, Opa Romanus masih bertugas segai guru gama. Bahkan untuk bangun kapela, Opa Romanus merelahkan sebidang tanah pribadinya. Suatu pengorban yang luar biasa.
Untuk kepentingan itu, pihaknya menyatakan dalam surat penyerahan. Surat penyerahan dimaksud menjadi wasiat agar kemudian anak-anaknya tidak menggugat tanah tersebut. Surat penyerahan itu diketahui seluruh warga Mbero. Surat penyerahan yang sama itu juga jadi dokumentasi Paroki Kisol.
Selaku Guru Gama dengan masa bhakti terlama, tak terletup protes dalam diri Kakek Romanus. Ia menjalankan tugas itu dengan tekun, setia penuh pengorbanan. Hanya ketika usianya sudah termakan waktu dan ruang geraknya mulai lamban, Kakek Romanus menyerahkan tugas itu kepada kader yang telah dipersiapkan dan disepakati umat.
- Pergulatan Tiga Tahun
Tahun 2018 lalu, bapak saya, Markus Bana, Om Simon Liko dan Om Paulus Dopo menjenguknya Kakek Romas di Wolo Roka-Maabha Ndata. Sebab, untuk merawat tanamannya Opa Romanus bangun rumah layak huni dan menetap di sana. Namun tetap saja kembali ke rumahnya di Mbero. Rumah yang sebelumnya berkolong sudah direhap. Rumah perjumpaan bagi semua anak-anak dan cucu-cucunya.
Perjumpaan yang mengesankan itu seakan-akan membangkitkan nostalgia bersama Opa Rmanus, Bapak Markus Bana, Om Simon Liko dan Om Paulus Dopo. Saat itu mereka berkisah banyak hal. Baik sisi adat, maupun rona lain penuh nuansa. Perjumpaan hari itu sungguh berkesan. Peluk erat, mesra. Tak kuasa tangis bahagia bersahut. Mereka saling menguatkan. Maklum mereka sudah sama-sama uzur.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2020, Opa Romanus mulai sakit-sakit. Penyakit asma akut menggerogoti tubuhnya. Berbagai apaya pengobatan dilakukan anak-anak dan menantunya. Baik di Borong maupun di RSUD Ruteng. Hasil pengobatan hanya membaik sebentar, lalu kambuh lagi. Maka Opa Romanus terus bergulat dengan derita panjang yang melelahkan itu.
Derita panjang itu semakin diperpuruk laantaran Oma Juli yang selalu merawatnya ketiban sakit juga. Tak jarang keduanya pisah hanya untuk usaha kesembuhan penyakit yang mereka diderita itu.
Hingga akhirnya, Sabtu (11/3/2-23) sore, putri bungsu Opa Romanus-Mama Tiel memutuskan jemput Ora Romanus guna mendapat perawatan intensif di RSUD Lehong-Borong. Maklum selain kondisi tubuh Opa Romanus yang terus susut, juga Oma Yuli sedang perawatan di Peot Borong. Memutuskan rawat di RSUD Lehong-Borong juga kehendak Opa Romanus Riu sendiri.
Dari peristiwa ini, sepertinya ada isyarat penting di sana. Opa Romanus ingin berpamitan dengan kekasih hatinya, Oma Yuli. Meski hanya satu kata terucap. Saling menatap sebentar menjadi media jumpa berisi.
Dan akhirnya, Minggu (12/3/2023) siang menjelang, detak nadi Opa Romanus bergerak pelan. Perlahan dan terus perlahan hingga henti. Opa Romanus meninggal dalam teduh setelah bersua terakhir kali dengan kekasih hatinya.
Banyak kisah menarik. Banyak lembar memori terpahat bersama keluarga, umat Mbeo, anak-anak dan cucu-cucunya. Terakik kesan yang luar biasa dari anak-anak dan menantunya. Salah seorang menantunya, Herman, mengatup penuh iman dan harap. “ Buku hidup Romanus Riu, telah tutup,” ujarnya usai melepas di pusaranya, Senin (13/3/2023).
Opa Romanus, jejakmu abadi. Dikaulah pencipta sejarah dan sejarah itu sendiri. Pamitnu dalam usia 91 tahun mengatup dalam iman mendalam. Bagi keluarga dikaulah buku kehidupan.
Opa Romanus kematian memang menyakitkan. Pergimu meninggalkan luka. Tetapi dalam sahadat kesejatian kami keluarga dan anak-anakmu, dikau, telah menulis semua bait sajak kehidupan. Tarian hati yang meletakkan peradaban.
Tidurlah Opa Romanus dalam nyenyak nan panjang. Kami mendoakanmu!”. Amin.
