Oleh ; Kanis Lina Bana*
Tentang Kampung Cekalikang, Kelurahan Nggalak Leleng, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, masih lestari pengalaman September 2012 lalu. Saat itu untuk pertama kalinya saya mendarat langkah di kampung serupa punggung kuda itu.
Kehadiran saya waktu itu dalam rangka meliput kegiatan pesta kenduri 12 orang warga Cekalikang. Mereka yang dikendurikan itu, yakni Yohanes Paras, Elisabeth Undur, Monika Gege, Jamba, Nawu, Mekeng, Bernabas Bantang, Ureng, Lusia Berung, Petrus Wanggar, Luju dan Marta Redung. Mereka semua kakak beradik. Satu garis turunan. Keluarga rapat Bapak Ande Agas.
Perayaan bermula 17 September 2012 hingga puncak 19 September 2012. Ditandai dengan sembelih hewan kurban, kerbau dan babi. Prosesi perayaan khusuk dan hikmat. Berjalan lancar sesuai rencana panitia. Untuk kegiatan itu saya tulis berupa feature yang diturunkan berseri di HU Pos Kupang.
Cekalikang waktu itu-17 September 2012. Pagi hari. Awan putih sedang bergelantung di rebis Golo Ranto. Sayup sayup terdengar lengkingan nyanyian burung bersahut-sahutan. Seperti irama kulintang. Sesekali pendar menghalau. Dedaunan hijau pohon Beringin di tengah Kampung Cekalikang meliuk manja. Langit sedang memantik dengan jingganya.
Dari Cekalikang ke arah barat kita menatap Kota Ruteng-Ibukota Kabupaten Manggarai. Kilatan atap bangunan tertangkap jelas retina mata. Ketika senja merayap kita menatap jilatan awan putih. Kejar-kejaran menyelimuti Pucak Mandosawu dan Anak Ranaka. Kerlap kerlip temaran lampu listrik di malam hari seperti tarian.
Sementara Lembah Mano terlihat lebih terang lagi. Kita menatap bentangan tera sering sawah. Liukan pohon pohon. Lentik jenaka buah komoditi cengkeh dan kopi yang diterpa sepoi sepoi siang. Cekalikang memanjakan mata. Indah dan memesona.
Kampung Cekalikang, sesungguhnya pemukiman penduduk yang dibentuk kemudian. Sebelumnya Cekalikang hanya lahan garapan. Umumnya penduduk diaspora dari Kampung Nunang. Namun lambat laun penduduk dari Nunang hijrah ke Cekalikang semakin bertambah. Mereka pun membentuk pemukiman baru.
Meski kampung bentukan baru, pertumbuhan penduduknya sangat pesat hingga saat ini. Masyarakatnya santun. Hidup bersama dalam tali semangat saling pengertian. Saling menolong adalah kebajikan kehidupan bersama yang unggul. Senasib dan sepenanggungan menjadi nadi akhlaknya. Dalam suasana seperti inilah antarwarga selalu saling menghargai apa adanya. Semangat gotong royong menjadi perekat. Meski kini, ethos dan spiritualitas kemasyarakatan tersebut pelan pelan kendur akibat gempuran kemajuan zaman.

Itu sekolas info tentang Cekalikang. Selasa (30/8/2022) malam. Sekitar pukul 19.15 Wita. Satu pesan Whats App masuk hand phone saya. Dari Mama Thress Wisang. Ketua TPKK Kabupaten Manggarai Timur. Isinya berupa selarik harap, ”mohon” dukungan misa peresmian Rumah Gendang Cekalikang. Bait harap itu menjadi kambium dari kartu undangan yang dikirimnya.
Membaca pesan dan kartu undangan itu, hati saya berbunga. Melonjak kegirangan. Saya putuskan ikut. Wajib ikut. Tujuanya, selain menghargai undangan, ikut misa, saya juga mau lihat dari dekat perkembangan Kampung Cekalikang saat ini. Lebih dari itu, saya mau tahu lebih jauh pernyataan Bupati Ande 10 tahun lalu tentang kerinduan akan rumah gendang yang lebih layak. Dan juga saya teringat, tanggal 1 September perayaan misa peresmian rumah Gendang Cekalikang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Bupati Ande Agas!”
Saya hafal dan ingat betul HUT kelahiran Bupati Ande Agas. Selain karena kisah yang saya rekam sepuluh tahun lalu, juga hasil telisik lebih jauh pasca prosesi kenduri itu dalam rangka menulis buku biografi. Judul buku, “Ande Agas Si Bocah Nasi Kaget”, saya pilih lantaran jejak nestapanya saya endus dari orang orang dekat plus sahabat masa kecil, dan teman seperiuk di SMP Binakusuma Ruteng.
Karena itu Kamis (1/9/2022) pagi, bangun lebih awal dari biasanya. Sebutir doa berintensi HUT Bupati Ande Agas saya daraskan. Lalu siapkan diri, mandi, makan, dan siap meluncur ke Cekalikang.
Namun apesnya si “Mosa Nggeli”-kuda lumping yang selalu menemani saya bepergian rewel. Macet total. Tak mau “dijinakkan”, meski teknisi di bengkel sudah berusaha. Sementara matahari kian merayap naik. Jam seperti berputar dengan cepatnya. Dengan berat hati, akhirnya saya putuskan batal ke Cekalikang. Kecewa, tentunya.

Meski demikian, untuk peristiwa bersejarah di Cekalikang itu saya kenang dalam madah syukur dan dukungan. Melambung penuh hormat. Karena rumah gendang tidak sebatas bangunan kokoh, megah, tetapi menyirat makna. Mengalir butir butir kebajikan hidup bagi pemiliknya.
Demikianpun untuk Bupati Ande Agas, yang hari ini genap berusia 63 tahun, saya lantunkan mazmur pujian. Usia bertambah, semangat teruslah membara untuk pelayanan di tanah asal. Rawatlah perkakas isi kepala hingga telapak menjejakan sejarah. Dawai hati terakik nurani untuk kasih insani. Sehatlah selalu, kuat dan arif dalam menakodhai Manggarai Timur menuju sejahtera, berbudaya dan bermartabat.
Semoga di hari hari mendatang selalu saja ada satu dua butir kata yang dapat diterjemahkan dari rahasia rahasia yang Ia pinjamkan yang dapat berguna bagi masyarakat Manggarai Timur. Teruslah berkarya. Karena Dia telah memulainya, mengutusmu ke tanah kuni agu kalo. Tanah di mana tali pusarmu ditanam.
Selamat Ulang Tahun Bapak Bupati Manggarai Timur, Ande Agas. Setialah mendamping Mama Thres. Dari Cekalikang Bapak Ande berlayar hingga ke tepian mimpi mimpi. Merawat asa untuk tanah asal. Sebagaimana Ralph Waldo Emerson (1803 – 1882) penulis Amerika menulisnya, “It is not the length of life, but the depth of life” yang berarti hidup ini bukan persoalan berapa lama, tetapi berapa dalam. Kedalaman hidup itu terwujud ketika hidup kita memberi kontribusi bagi “dunia”. Kae Ande-sapaan akrab rahim PMKRI, Ad multo annos. (*)
