BORONG, DENORE.ID–Rehat sejenak, mengaso di Pantai Cepi Watu Borong, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Apa yang berhasil ditangkap indera mata di sana? Yang jelasnya, ada pemandangan yang kontras.
Di satu sisi ada gazebo berdiri kokoh, indah, teratak rapih, dan menakjubkan. Memikat. Di sisi lain ada deretean bangunan gazebo yang sudah usang, rusak. Entah karena termakan usia atau karena tidak merawatnya. Tak ada jawaban pasti. Semuanya sumir.
Padahal letak bangunan itu berhadap-hadapan. Apakah gazebo yang baru selesai dikerjakan menggantikan gazebo yang sudah tua itu. Ataukah sekadar tambal sulam berujung mubazir.
Tak hanya itu. Ada juga pemandangan lain. Terutama penambahan fasilitas di sana. Seperti Tourism Information Centre (TIC), kios cendramata, toilet, jaringan air bersih, sumur pompa, jaringan listrik, panggung kesenian dan amphiteather, “Lima paket pembangunan destinasi wisata Cepi Watu untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan,” Kata Kepala Dinas Periwisata dan Kebudayaan Manggarai Timur, Albertus Rangkak.
Cepi Watu mengafirmasi jawaban. Menukik tajam indra mata mengalir estetika menyaksikan apa yang ada di tempat itu. Adalah filosofis seni berguna dan bermutu. Tentu, konstruksi konsep dan praktek seimbang beriringan kata. “Dibangun untuk menambah daya tarik sekaligus pemenuhan kebutuhan wisatawan sehingga ketika wisatawan mengunjungi objek wisata Cepi Watu tidak kecewa,” terang Albert.
Hasil pengamatan Denore.id memperlihatkan geliat fasilitas wisata cukup elit. Bangunan yang baru dikerjakan, tak tanggung-tanggung menghabiskan dana sebesar Rp. 3.337.39.800. Dana tersebut bersumber dari DAK. Dari sisi jumlah dana yang dihabiskan itu sangat fantastik. Tetapi sejenak merenung apa yang istimewa di Pantai Cepi Watu selain gazebo yang sudah ada dan yang baru dikerjakan?. Cepi Watu tidak lebih dari pesona alam yang didandani dengan konsep monoton.Yang itu-itu saja dari dulu. Sebut saja pembangunan gazebo yang sudah ada itu.
Pola desain gazebo yang baru dikerjakan itu tidak lebih dari sekadar duduk mengaso seraya merokok.Lalu ada yang salah dengan sarana fasilitas baru ini?. Yang jelasnya, bangunan yang ada itu tidak salah. Yang keliru adalah konsepnya.Padahal selama konsep membangun itu baik akan berbanding lurus dengan dampaknya. Jika demikian, maka dari sisi penghasilan bakal menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Selama ini pemasukan kurang memuaskan. Kebanyakan orang Ruteng memilih Liang Mbala. Setelah dari sana mereka singgah di sini, mungkin karena di sana gratis,” jelas Pegawai Pariwisata Cepi Watu, David.

Apa yang disampaikan David, termaktub jelas bahwa pengunjung wisata bosan dengan fasilitas di Pantai Cepi Watu itu. Tak ada yang istimewa. Tak lebih sekedar tambal sulam tak berguna.
Modifikasi fasilitas di Cepi Watu, memberi efek lain yakni semakin panas. Sebab pohon-pohon yang ada tidak lagi mengundang sejuk. Kini untuk berteduh tidak lebih kulit wajah terekspose dalam sengatan terik matahari. Menghidupkan memori tak bisa. Memutar kembali waktu poros pesona alam natural Cepi Watu itu cukup sulit. Bahkan gadaian indentitas jadi taruhan.
Cepi Watu berdandan, mencoba memodifikasi diri. Sayangnya pepohonan jadi tumbal. Memaksa keadaan ekspetasi tak sesuai realita. Akibatnya bangunan tua yang ditinggalkan begitu saja. Mendapat ‘bonus” mengerikan.
Sebenarnya apa yang salah. Yang salah adalah kepercayaan diri berlebihan. Menginginkan Cepi Watu seerotis mungkin. Memaksa keadaan ekspetasi tak sesuai realita.
Mengendus aroma pembangunan fasilitas itu terlalu jauh untuk masuk. Gazebo lama tinggal kenangan, tempat sampah menghembuskan aroma tak sedap. Dan toilet menebar bau menusuk hidung.
Cepi Watu masih kulit lama. Cerita di pintu masuk, memberi dengan ikhlas tiket dan retrebusi lainnya. Dengan iming-iming menikmati pesona alam Cepi Watu. Tetapi suguhan di tempat itu, kusam dan kering pada realita “dandanan” lama. Unik juga aneh melekat pada kulit wajah Cepi Watu. Seketika memori kolektif mengingat masa lalu. Bahwa sesungguhnya Cepi Watu masih seperti dulu. Tidak ada yang istimewa. Modifikasi monoton tidak menggoda arah pandang memikat. Tetapi yang ada, itu-itu saja.
Bosan. Imajinasi dibentur cara pikir kerdil, melihat paras Cepi Watu yang itu-itu saja. Gazebo tidak lebih dari sekadar duduk. Tidak ada yang istimewa. Rehat sejenak, dan refreshing akhir pekan di Cepi Watu bukan pilihan. Banyak pengunjung lebih memilih Pasir Putih sebagai tempat yang pas untuk rekreasi. Kenapa bukan Cepi Watu?. Tentu jadi bahan refleksi pemangku kebijakan publik. Padahal jika dibandingkan Cepi Watu banyak sarana fasilitas yang cukup untuk pengujung.
“Bosan dengan Cepi Watu bangunan tua dan baru sama saja tidak ada yang unik, yang unik itu kerinduan saya tidak tersampaikan” kata Dominika Theresa M. Anu Mahasiswi Universitas Terbuka
Apa yang kita banggakan? Cepi Watu telah kehilangan indentitas naturalnya. Ia ada hanya sekadar destinasi pariwisata yang menghabiskan uang negara. Dan berada di titik-titik konsep yang buram. Terarah tetapi tidak terukur. Tiga miliar lebih tidak sebanding dengan pemasukan yang diharapkan.
Mari kita ukur secara matematik. Pengunjung bayar tiket masuk Rp. 5.000 per orang. Coba kita akumulasi jika pengunjung berjumlah 100 orang, maka penghasilan yang diterima Rp. 500.000. Angka ini mengandaikan jika pengunjung ramai. Apakah kita bisa bangga dengan penghasilan itu. Tentu tidak. Karena itu sebaiknya Pemerintah Daerah Manggarai Timur serius membenahi pariwisata. Seperti angkutan laut, agar pengunjung tidak bosan. Atau terkesan “lihat laut bayar”. Fasilitas seperti speed boat atau sejenisnya diadakan untuk menggairahkan para pengunjung datang berwisata ke pantai Cepi Watu.
Konsepnya sederhana. Adakan empat speed boat dengan kapasitas dua orang. Harga per orang Rp.50.000 dengan durasi waktu satu jam. Berapa yang dihasilkan? Rumus ekonomi akan menjawab itu. Semoga.
Penulis: Yulianus Nardin
Editor:Kanis Lina Bana
