Ciko Niot

Kanis Lina Bana/ist

Oleh Kanis Lina Bana*

Ciko Niot. Buat saya, ini terminologi baru. Arbitrasi yang menggedor dan menggoda gendang telinga saya. Serentak stimuli untuk paham. Padahal ungkapan tersebut sudah cukup popular di tengah masyarakat Manggarai Timur. Bahkan masyarakat Manggarai Raya. Tetapi, sejujurnya, bagi komunitas Selatan dan klen Rongga khususnya, Ciko Niot ini kata baru. Karena itu saya penasaran untuk menukik lebih dalam memahami pesannya. Dasar filosopinya sehingga menyebut kata atau ungkapan ini membuat sebagin masyarakat kembali atret mengenal insaf.

Sebelumnya saya pernah dengar kata “Cengka Ciko”. Untuk pertama kali kata tersebut  saya peroleh  dari saudara sepenanggungan, Frans Pantur. Ketika beliau membaca ulang naskah buku saya, tentang biografi, Drs. Yoseph Tote, M.Si.

Usai membaca naskah buku Yoseph Tote, Anak Kampung Penjual Garam itu, Frans Pantur, menarasikan benang merahnya. Menurutnya, spirit pembangunan yang dijalankan sang Bupati Manggarai Timur itu menggunakan falsafah Cengka Ciko. Artinya bangun-sisir wilayah  luar, wilayah wilayah  udik, meretas kantong kantong  terisolasi yang belum terjangkau pembangunan. Lalu pelan pelan melingkar ke arah pusat pemukiman penduduk. Central sirkulasi masyarakat. Tetapi arus transportasi dari dank e wilayah paling luar dan terpencil harus digarap duluan.

Sebab apalah artinya jika jalur utama-central ditingkatkan, sementara jalur dari dan ke pemukiman isolasi tidak diretas dengan baik. Itu sebabnya Drs. Yoseph Tote, M.Si berpasangan dengan Agas Andreas membangun Manggarai Timur dengan semangat Cengka Ciko.

Yang saya paham kata Ciko berarti  udik. Makna itulah yang menjadi perbendaharaan  kata-terminologi bahasa lokal Manggarai Timur yang mengendap dalam akal saya. Karena itu ketika  kata “Ciko” disandingkan dengan kata “Niot” membuat saya terletup sadar, tergoda dorong untuk paham lebih jauh ungkapan bernas itu.

Seturut maknanya ungkapan ini, merupakan kristalisasi semangat menyimpan-menabung bagi kalangan ibu-perempuan di kampung kampung. Biasanya usai panen,  ibu ibu akan memilih-memilahkan hasil panenan terbaik. Panenan berisi, panenan bernas, lalu disimpan dalam wadah tertutup dan diletakan di loteng rumah. Atau tempat yang sulit dijangkau indra mata. Bahkan simpanan itu dianggap tidak ada.

Selebihnya panenan yang ada itu dimanfaatkan untuk konsumsi, seturut kebutuhan. Bisa saja panenan itu ludes sebelum musim tanam tiba. Atau kerap pula beberapa bulan kemudian sudah lego untuk mencukupi kebutuhan lain. Untuk ongkos anak sekolah, misalnya. Atau juga wali anak rona- Tak pelak, ketika  tiba musim tanam, jadi keleleran. Itu sebabnya sang ibu ibu sudah siasati kemungkinan itu. Ciko Niot. Budaya Ciko Niot itu mahal dan penting.

Bupati Ande Agas, SH.M.Hum, pada kesempatan peresmian Kantor Fungsional Bank NTT di Benteng Jawa beberapa waktu mengingatkan lagi falsafah Ciki Niot itu. Baginya Ciko Niot bernilai bijak bestari untuk menyiasati jaminan masa depan. Saving penghasilan untuk kebutuhan mendesak dan tak terduga. Utamanya untuk biaya pendidikan anak.

Karena itu  perlu habitus baru dalam menabung. Sebab menabung itu penting. Seluruh warga masyarakat Manggarai Timur harus giat-seber menabung. Menabung harus jadi  tradisi keluarga. Bukan hanya bagi bapak bapak dan ibu ibu, tetapi siapa saja. Baik kaum muda yang hendak berkeluarga pun anak-anak di bangku sekolah.

Sebab tradisi menabung, terangnya, bukan perkara baru bagi masyarakat Manggarai Timur. Kebiasan tersebut sudah ditanamkan kaum ibu sejak dulu yang lazim dikenal Ciko Niot. Jika menabung direncanakan dengan baik, maka masyarakat akan terhindar dari renternir berjemaat di tengah masyarakat. Terhindar dari tagihan  Koperasi Harian yang bikan orang sesak napas. Karena itu mulailah menabung. Bukan berapa besarnya nominal yang ditabung, tetapi seberapa sering kita menyisihkan pendapatan untuk kebutuhan menabung itu.

Menabung, katanya, tidak bisa menggunakan hukum jumlah penghasilan kurang belanja sama dengan saving-menabung. Jika metode itu yang dipakai tidak bakal ada uang tabung. Sebab tidak akan tercukupi jika uang ada dan masih pegang di tangan.  Pasti selalu ada-ada saja kebutuhan akibat terpikat indra. Kita jadinya  boros dan cenderung menghabiskan.

Padahal menabung  itu  menjadikan kita memiliki harga diri. Martabat dan kemandirian secara ekonomi. Betapa naifnya, jika saban hari kita dikejar rentenir atau pegawai Koperasi Harian. Apalagi saat tagihan uang pengembalian pinjaman tidak ada. Yang terjadi kita-si peminjam bakal “gerimis” alias gerakkan imi amas.-salah tingkah. Atau cepat cepat tutup pintu seraya mengelus dada ketika pemilik modal tinggalkan pintu rumah kita.

Oleh karena itu, sekali lagi Bupati Ande mengajak seluruh masyarakat Manggarai Timur untuk gemar menabung. Menabung dan terus menabung. Sebab manfaat menabung sangat besar. Cara sederhana untuk menabung, saran Bupati Ande adalah sedari awal  alokasikan pendapatan atau penghasilan sebelum belanja kebutuhan lain. Harus kekang diri terhadap godan instant. Apalagi membeli barang-barang yang tidak butuh.

Menyisihkan pendapatan lebih awal telah, ujar Bupati Ande, telah  dihayati ibu ibu kita di  kampung kampung. Spiritualitas Ciko Niot yang mereka hayat-amalkan mengajarkan kearifan budi dan perilaku kebajikan hidup. Ayo menabung. Jangan pakai tunda segala atau nanti. Sekarang. Titik.  (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!