google.com, pub-6484823448236339, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Cilegon, Regulasi dan Ketidakberpihakan Pemimpin

Oleh : Marselus Natar*

Cilegon adalah sebuah kota yang berada di Provinsi Banten, Indonesia. Cilegon berada di ujung barat laut Pulau Jawa, di tepi Selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai kota baja. Belakangan media pemberitaan beramai-ramai menyoroti kota baja itu oleh karena polemik intoleransi berupa pelarangan pembangunan rumah ibadat di Cilegon. Problem pendirian rumah ibadat seperti pada kasus yang terjadi di Cilegon Banten pada tanggal 7 September 2022, dimana sekelompok orang menolak pembangunan rumah ibadat Gereja HKBP Maranatha di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol Kota Cilegon Banten, yang mana penolakan tersebut turut ditandatangani oleh Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, Banten. Penolakan tersebut dilakukan dengan didasarkan kepada Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975 tentang penutupan gereja atau tempat jamaah bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon), landasan Surat Keputusan Bupati tersebut kemudian menjadi problem ketika dicermati.

Ada pun isi Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975 adalah: Pertama, regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99%, sementara situasi kota Cilegon sekarang sudah berubah. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, komposisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873. Jumlah tersebut setara dengan 9,86%. Sementara komposisi umat non muslim secara keseluruhan mencapai 12,82%. Kedua, penerbitan SK Bupati tahun 1975 tersebut dalam konteks merespon Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadat. Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja. Oleh karenanya, penganut Agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadat di gereja-gereja yang ada di Kota Serang. Ketiga, SK Bupati tahun 1975, merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut dan digantikan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Jika mengacu pada data BPS Tahun 2010 tentang komposisi jumlah penduduk non muslim di kota Cilegon, maka regulasi yang dikeluarkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi sebab komposisi penduduk non muslim telah mengalami perubahan atau peningkatan yang drastis. Di sisi lain, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah meletakkan kerangka dasar jaminan atas kemerdekaan memeluk agama, keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan kemerdekaan dan kebebasan untuk beribadat menurut Agama dan kepercayaannya tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. dan (2) “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Peristiwa Cilegon merupakan bentuk intoleransi dan tidak berlebihan jika disebut sebagai bentuk penjajahan struktural (penolakan dilakukan oleh pemimpin hingga masyarakat kecil yang terafiliasi dalam kelompok radikal tertentu) terhadap masyarakat minoritas ditengah eksistensi bangsa yang beberapa bulan lalu merayakan HUT kemerdekaan yang ke 77 tahun. Dalam kondisi dan situasi seperti itu, kita patut mempertanyakan tentang eksistensi Negara yang katanya menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. 

Ketidakberpihakan Pemimpin

Hipotesis atas problem pelarangan pendirian rumah ibadat di Cilegon adalah ketidakberpihakan pemimpin atas masyarakat minoritas. Menelusuri fakta historis di balik problem pelarangan pendirian rumah ibadat di Cilegon adalah fakta yang tidak terbantahkan kebenarannya, bahwa ketidakberpihakan pemimpin (Bupati) merupakan fakta yang telah dikukuhkan dalam format regulasi yang baku. Di sisi lain, Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975 tentang penutupan gereja atau tempat jamaah bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon), bertentangan dengan regulasi yang dikeluarkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Dalam peraturan bersama ini diatur mengenai tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yang salah satunya  adalah menerbitkan IMB rumah ibadat oleh Bupati/Walikota, dengan mekanisme dan persyaratan yang diatur dalam pasal 13 sampai dengan pasal 17. Persyaratan dimaksud yakni persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung serta persyaratan khusus yaitu daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai tingkat batas wilayah dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala Desa, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/Kota dan Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. 

Selain daripada itu, fenomena ketidakberpihakan pemimpin terhadap masyarakat minoritas merupakan bentuk konkret dari tipe kepemimpinan yang tidak Pancasilais. Pancasila menghendaki agar seorang pemimpin dalam kepemimpinannya dijiwai dan digerakan  oleh nilai kebijaksanaan, keadilan, kejujuran dan menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat. Hal ini ditegaskan dalam sila keempat dalam Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.” Frasa “yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” merupakan wujud dari pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani, arif, bijaksana, jujur, dan adil. Hikmat berarti profesional dalam menjalankan tugasnya melalui tuntunan permusyawaratan. Hikmat Kebijaksanaan berarti sikap yang dilandasi dengan penggunaan akal pikiran yang sehat. Ini artinya selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan. 

Penulis adalah Rohaniwan Katolik dan Mahasiswa aktif pada Sekolah Tinggi Pastoral Atama Reksa (STPAR) Ende. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: