Oleh Kanis Lina Bana*
Demokrasi sperma? Woauww. Ada-ada saja. Sudah tidak ada judul lain ko? “Jangan asal tulis!”. Tulis yang berbobot. Mungkin itulah segumpal gugat yang sengaja sodok ketika membaca tulisan pendek ini.
Bagi saya, sah-sah saja. Biasa. Ketika pembaca hanya sebatas baca judulnya saja. Atau sekadar klik tanpa baca isi secara keseluruhan. Kesimpulan yang diresahkan, sebagaimana pada awal tulisan ini bisa saja muncul dengan lugasnya.
Tetapi jika baca secara keseluruhan, pasti Anda temukan pesan bernas yang merekat di dalamnya. Pembelajaran yang mesti kita hayati. Ada makna yang harus kita renungkan.
Jujur, saya juga nelangsa, ketika meracik tulisan ini. Benturan akal waras berebut tanpa. Memaksa saya untuk menarasikan pada kolom ini. Sebab apa yang tercipta ini, mengandung sesuatu yang berguna. Ada makna yang perlu kita ingat-hayatkan. Maka lahirlah karya tulis berjudul “demokrasi sperma”.
Judul tulisan pendek ini saya pinjam dari “filosophi” yang diluncurkan dari mulut berbisa seorang pejabat tertinggi di Manggarai Timur, Agas Andreas, SH. MHum. Saat duduk makan bersama di aula rumah jabatan Bupati Manggarai Timur. Semula saya duduk pada kursi di meja lain. Kami bersebelahan.
Sedang Bupati Matim duduk satu meja dengan Ibu Ketua Tim Penggerak PPK, Mama Thress Wisang dan duta baca Republik Indonesia, Gol A Gong.
masing-masing kami sibuk dengan urusan kampung tengah. Maklum jam makan. Sesekali Bupati Ande tawarkan untuk tambah volume menunya. Apalagi menu tersedia lebih dari cukup. Menu netral, lagi. Sedikit unsur kolesterolnya. Sate ikan. Konon katanya, menurut orang pintar, ikan berisi daging putih sedikit saja unsur kolesterolnya. Proteinnya, jangan omong lagi.
Di sela ngobrol jedah makan, saya pindah tempat duduk. Duduk melingkar pada meja bersama Bupati Ande, Mama Thress dan Gol A Gong. Diskusi kami macam-macam. Mulai dari literasi dan hingga soal lain yang melingkar dunia perbukuan. Sesekali Gol A Gong mengisahkan bagaimana kiat menulisnya hingga mencapai predikat pretesius. Di sela diskusi itulah, Bupati Ande meluncurkan terminologi demokrasi sperma itu.
Menurutnya pandangan demokrasi sperma itu ia peroleh dari buku yang pernah dibacanya. Nama penulis dan judul bukunya sudah tidak ingat lagi. Hanya pesan kuat dari buku itu masih lengket. Masih mengendap dalam kalbu. Tentang demokrasi sperma.
Bupati Ande menjelaskan, sperma yang dihasilkan seorang laki-laki berjumlah ribuan. Bahkan jutaan. Jutaan sperma itu berjuang mati-matian hanya untuk mendapat satu indung telur. Dan hanya ada satu sperma sebagai pemenangnya. Dialah yang akan bersenyawa dengan satu indung telur dari rahim seorang perempuan. Proses pembuahan inilah awal mula manusia.
Sedangkan sperma yang lain? Ini uniknya. Mereka akan mati. Lalu jadi “pupuk” menyuburkan bagi satu sperma yang berhasil melebur dengan satu indung telur. Asupan gizi dari sperma yang mati menumbuhkembangkan satu sperma yang telah bersenyawa dengan indung telur itu.
Pesan yang hendak dipelajari adalah bagaimana ribuan sperma itu merelakan dirinya menjadi pupuk bagi sperma yang telah bersenyawa dengan indung telur itu. Mereka kalah dalam perjuangan mendapatkan indung telur. Tetapi ketika mereka kalah justru merelakan diri menjadi pendukung bagi sperma yang menang itu.
Lalu demokrasi kita? Hm.. ini ruwetnya. Gontok-gontokan pasti terbawa-bawa. Selalu berdiri pada angle yang berseberangan. Bahkan jadi musuh mewaris.
Misalnya, ketika pesta demokrasi pilkada. Yang jelas ada beberapa pasangan calon yang bakal bertarung untuk rebut kursi panas. Dan hanya satu pasangan calon yang bakal menang.
Ketika menang itulah, pasangan calon yang kalah dalam pertarungan itu, bukannya memberi respek dan hormat. Atau mengakui keunggulan pasangan calon yang menang itu. Yang terjadi justru sebaliknya. Jadi musuh. Skepstis dan melihat hasil karya pemenang dari sisi negatif meluluh. Curiga jalan terus. Teman-makan teman jadi biasa.
Lebih memrihatinkan lagi. Yang bersikap negatif itu bukan hanya pasangan calonnya, tetapi termasuk tim pemenangannya. Semacam jadi musuh bersama terhadap pasangan calon yang menang. Musuh berjemaat.
Kalau sperma saja sudah mengajarkan cara berdemokrasi yang sehat, mengapa demokrasi kita justru sebaliknya. Miskin dan kerdil. Dangkal dan menyesatkan? Kita perlu menginsafinya. Kita perlu berbenah seraya membaharui spirit demokrasi ala sperma itu agar penghayatan berdemokrasi kita menjadi sehat, berimbang, dan rasional. Mudah-mudahan. (*)
Penulis; Menulis Buku Surat Surat Jelata.
