Oleh Kanis Lina Bana*
Pada suatu musim. Saat Kota Kupang-NTT sedang ‘garang’ pada puncak panasnya. Persis di perhentian itulah, Bapak Ande- Mama Thres, selanjutnya ditulis Ande-Thres, berjumpa. Pandangan beradu, terpanah melekat pada dinding-dinding rasa. Hati terpaut, rekat melebur, mengikat. Lalu.. cinta pun bersemi.
Tak kuasa menolak. Semuanya serba terlalu. Mendarat persis pada pelataran jiwa yang sedang dilanda rasa yang sama. Rasa yang menjalar, meniup menembus gelora sukma yang sulit dibahasakan. Mengalirkan kehangatan tak bertepi. Menyembulkan nuansa-nuansa harap. Cinta menemukan hakekatnya. Pendar kesejatiannya. Dua sosok anak manusia, Ande-Thress, pun saling jatuh cinta.
Cinta? Itulah simpul semua rasa yang telah membius dalam kehangatannya. Ia berada dalam kandungan kreatif, memikat, membahagiakan, membebaskan . Dan karenanya mulailah, Ande-Thres, melewati fase baru dalam semangat yang sama. Saling mengerti, menerima, dan menjalankan warna kehidupan apa adanya. Persis seperti itulah jurnalis-sastrawan, Gunawan Muhammad, dalam larik puisi cintanya mengingatkan, “Seluruh permukaanku menyambutmu. Yang di dalam diriku melepaskan diri”
Selanjutnya, pohon cinta Ande-Thres bertumbuh subur, mekar merona semakin rindang. Saling berbagi, berbela rasa, kokoh hingga melewati musim. Bahkan melampaui musim itu sendiri. Dan pada ruang jelajah penghayatan, pengertian menjunjung kasih, selalu berujud harap dan syukur. Memadahkan daras rasa mendalam, meluapkan mimpi-mimpi masa depan.
Atas nama cinta, Ande-Thres, selalu ciptakan iklim kehangatan. Berbuka hati dan rawat bersama butir-butir cinta yang sedang kuncup mekar berseri. Bukan untuk saling mendahalui atau melampaui, tetapi selalu sejajar melengkapi dalam kata dan segalanya. Dalam rasa dan harapan. Cinta memang serba terlalu, berdaya kuat melingkar menggigit dalam kuali penghayatan.
Benarlah Kahlil Gibran, sang penyair abadi sepanjang masa. “Cinta akan senantiasa saling memberi dan menerima antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan matahari sewaktu mendekati malam dan bulan manakala mendekati pagi. Cinta laksana sumber air keabadian yang senantiasa mengalirkan kesegaran kepada jiwa-jiwa yang kehausan”. Itu sebabnya Ande-Thres benar-benar merasakan aliran cinta, kekuatan yang menyatukan. Kokoh, utuh selalu hingga detik ini.
Sebab mereka merayakan indahnya hubungan cinta itu. Cinta yang membebaskan, tanpa syarat, tanpa prasangka, tanpa cemas kehilangan. Layaknya relasi kakak-beradik yang tidak dapat dipisahkan oleh peristiwa apapun kecuali maut, “ kata Maria D. Andri-ana.
Cinta yang diikat 20 September 1983 digandakan Sang Ilahi secara terus menerus di segala medan abdi. Kekuatan cinta melumpuhkan segala ego menyesatkan. Memutuskan mata rantai ingin di luar akal sehat. Sakramen perkawinan menyatukan, menguatkan hingga kini dan seterusnya.
40 Tahun mengarungi bahtera cinta adalah bait-bait doa dan harapan. Jahitan pengertian yang saling menyempurnakan. Bela rasa yang selalu akrab tak terbatas. Butir abdi yang selalu memberi pahala setimpal.
Cinta memang serba terlalu. Sebab hanya dalam cinta nan tulus dan setia selalu ada energi besar sekali. Energi yang bisa menggoncang kehidupan. Energi yang sang-gup merobohkan kesombongan dan ingat diri. Energi yang mencairkan kebekuan menerobos sekat-sekat kesesatan.
Di atas semuanya itu, Tuhan sendiri telah menyatukan, menguatkan. Tuhan segalanya hingga kelak tiba di ujung batas. Karena Dia sendirilah yang telah mempertemukan dua sosok, Ande-Thres, jadi satu gereja mini. Proficiat Mekas Ande-Mama Thres Wisang. Terima kasih sudah percayakan saya menarasikan bulir-bulir cinta itu dalam buku “40 Tahun merayakan cinta”. Yang berminat stok tersedia. (*)
Penulis wartawan. Calon DPRD Manggarai Timur, Partai Perindo. No urut 1
