Oleh: Kristian Emanuel Anggur*
Media online, Sarana Informasi. Com (SI.com), edisi Senin, 23 Mei 2022, memuat berita viral. Pimpinan Sanggar Seni Riang Tanah, Labuan Bajo-NTT, Marsel Nagus Ahang, S.H, menilai PPI telah melecehkan Adat Budaya Caci Manggarai. Dengan geram Marsel Ahang protes PT. Mustika Ratu, TBK (MRAT) dan Yayasan Putri Indonesia (PPI) 2022. Kemarahan Ahang, dipicu rasa kecewa melihat video yang memposting acara Pemilihan Putri Indonesia, yang digelar di Padang Room, Hotel The Westion, Jakarta, Rabu 18 Mei 2022. Video viral yang beredar luas di Youtube dan Instagram itu, memperlihatkan kontestan puteri, asal Kabupaten Sabu Raijua, bernama Breldy Angela Lerrick yang berpose mengenakan fashion modifikasi permainan Caci adat budaya Manggarai.
Penilaian Ahang, bahwa aksi Angela Lerrick sungguh memalukan dan sangat melukai perasaan orang Manggarai. Menurutnya, tari caci sangat tabu dan haram jika dilakoni oleh kaum perempuan. Ini sebuah pelecehan yang sangat fatal, dilakukan oleh PT. Mustika Ratu dan Yayasan PPI. Ahang, selaku anggota PERADI (Perhimpunan Advokad Indonesia) yang merangkap Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusa Komodo Flores NTT, menyatakan siap menggugat Putri Kus Wisnu Wardana dan Binggar Egidius Situmorang ke ranah hukum. Mereka harus bertanggungjawab atas pelecehan terhadap kesakralan adat budaya Manggarai itu.
Senada dengan Ahang, pro-kontra berbagai media dan para netizen Manggarai, seperti Vox Populi NTT di Jakarta, bereaksi keras bahkan mengutuk hal yang sama. Vox NTT menulis, mesti dibedakan antara Fashion Show dan pagelaran permainan Caci. Fashion adalah peragaan busana (fashion show) yang disiapkan oleh perancang busana sebagai wadah untuk menampilkan gaya pakaian sebagai mode. Sementara Pertandingan Caci, merupakan permainan rakyat yang memperagakan pertarungan untuk menguji ketangguhan antara dua lelaki sebaya. Uji ketangkasan satu lawan satu (sama jantan), oleh orang Manggarai, disebut Caci.
Mengapa orang Manggarai memberi reaksi keras? Dikatakan, aksi Breldy Angela Lerrick, Cs, merupakan tindakan pelecehan? Atau pemerkosaan terhadap kemurnian adat budaya Manggarai? Sepintas kilas penulis memberikan catatan kritis, reflektif dan analisis berdasarkan sejarah singkat tentang permainan Caci.
Caci adalah permainan (game) yang dipertandingkan, bukanlah sebuah tarian (dance). Caci, berasal dari gabungan kata “ca” dan “ci.” Oleh orang Manggarai diungkapkan Ci ca ca). Ca, berarti satu, satu kali, atau satu lawan satu, (bukan keroyokan dan hanya boleh memukul satu kali, tidak boleh memukul berulang-ulang, double). Sedangkan ci berarti tanding, lomba atau uji. Pertandingan satu lawan satu inilah yang disebut “ci gici ca” atau “ci ca ca”(uji satu-satu). Setiap giliran, hanya berhak memukul dan menangkis sebanyak satu kali. Makna kata ci ca-ca ini, menyiratkan aturan main dalam sumpah adat yang tetap dan adil (mutlak, tidak berubah-ubah).
Bahwa orang yang akan turun berlaga di arena caci, hanya diperbolehkan memukul satu kali dan satu lawan satu dengan pasangan yang seimbang (cama laki) dan tidak dengan sistim keroyokan. Kepahlawanan yang dibanggakan (lalong atau laki) bagi orang Manggarai, adalah orang yang berani berhadapan secara jantan satu lawan satu (duel). Yakni, antar sesama pendekar atau “rani cama laki.” Sehingga, para jagoan caci yang datang sebagai meka landang untuk berlaga caci di arena natas de mori beo, disebut lalong liba, atau laki pokang. Ritus upacara caci pada masa pendudukan Jepang sangat dilarang, karena masyarakat dibebani berbagai kerja paksa atau “rodi” (Paul Nurung, Rengkam: 2004).
Secara lisan (forklorik-audioral) para penutur adat mengisahkan, demikian; konon tradisi permainan caci, diadopsi dari sejarah konfliktual tanah suku. Konflik tanah komunal (suku) yang berkepanjangan, kadang berakibat pada sumpah adat (wada) hingga mencapai puncaknya pada perkelahian massal atau perang tanding. Di era pemerintahan moderen, sejak orde lama, orde baru, hingga orde reformasi, penyelesaian perkara tanah, selalu berujung di pengadilan. Jadi, tidak serampangan saja diselesaikan dengan perang tanding atau adu fisik yang memakan korban nyawa. Tetapi melalui mekanisme dan prosedur bertahap, baik lewat jalur hukum adat maupun hukum formal negara (hukum positif). Perang tanding, bisa saja terjadi. Bila keduabelah-pihak, melanggar semua kesepakatan baik hukum adat maupun hukum positif.
Maka sebagai tahap terakhir, bila tidak ada jalan lain (buntu), mereka akan mengambil jalan “sumpah darah (bedil wada).” Dalam istilah lokal, naik banding di tempat (bedil = senjata, wada = sumpah). Bedil wada alias “senjata sumpah,” dilakukan sebagai nazar suci kepada diri sendiri, sesama, lingkungan alam, leluhur (wura ceki), dan Tuhan sebagai saksi sekalian pemilik alam untuk nyatakan yang benar dan yang salah. Bedil wada sebagai upaya terakhir melalui ritual adat torok atau tudak dan pengorbanan darah hewan, lahir dari pemahaman kosmis, magis, mistis dan religious orang Manggarai, dengan bunyi, sbb:
Pertama, Sumpah antar individu:
“Émé tu’ung tana nomber daram, landing le dempul wuku, wéla wuk, agu tela tonim, toé ulum watu rutuk, toé daram waé wa’a. Émé de hau tu’ung morin, wela mata de hau-tadu mata daku.” (Terjemahan bebas: Jika benar, bahwa tanah ini milikmu, hasil jeri lelah dan keringat darahmu, kepalamu tak akan remuk dan darahmu tak akan tertumpah. Jika benar tanah ini milikmu, matamu akan terbuka dan mataku akan tertutup.)
Kedua, sumpah antar kelompok (suku):
“Émé tana de méu tu’ung ho’o, radak damangk ami, langkasn méu. Maik émé toé, tana disé empo dami muing ho’o, méséng co’on langkas kami-radak méu, oné méu taungs kopé agu korung so’o to’ong. Ba labang kolé tanam, ba rapu kolé mbarum” (Jika benar tanah ini milik sukumu, maka kekuatan kamu akan mengalahkan kami. Namun, bila tanah ini kepunyaan kami, maka kami akan mengalahkan kamu. Parang dan tombak ini akan mengambil nyawamu. Kamu akan tewas dan pulang berupa mayat. (Janggur, 2005)
Menurut penuturanBapak Kontan Nabis (Kobok-Waerana: 199-an), bahwa sumpah adat mempunyai mekanisme yang dilaksanakan melalui ritual adat. Melalui sistim perwakilan, di mana utusan dari kedua suku yang bertikai dihadirkan ke tanah sengketa. Kemudian, secara bergilir mengucapkan sumpah adat (wada) dengan memakan tanah yang dipersengketakan itu, sebelum dieksekusi dengan pedang, dipukul dengan cemeti berpaku, ditikam atau janji berperang. Caranya, orang yang akan dieksekusi itu diikat pada sebatang pohon atau dimasukkan ke dalam tanah, yang digali sebatas pinggang agar tidak dapat bergerak lari atau melawan. Kemudian dieksekusi dengan jumlah pukulan yang sama, secara bergantian antara kedua kubu. Misalnya, masing-masing 5 kali pukulan. Bila salah satu utusan itu tidak luka atau tidak mati, maka ia dinyatakan sebagai pemenangnya. Bila kedua-duanya luka, mati, atau sama-sama menang, maka tanah yang dipersengketakan dibagi dua (dibagi sama banyak). “Sering juga dengan uji menyelam, memegang bara api, mencelup tangan di air panas dan menguji berkelahi satu lawan satu” (Verheijen, Wujud Tertinggi: 1991).
Pada masa kolonial Belanda, hukum adat sudah mulai bergeser, mengikuti penghayatan ajaran agama (Katolik). Bahwa tontonan kekerasan, yakni menghukum dengan cara penyiksaan, atau eksekusi seperti di atas, dinilai tidak berperikemanusiaan (melanggar HAM dan bertolakbelakang dengan hukum agama yang berdasarkan cinta kasih).
Dalam perkembangannya kemudian, orang yang akan dieksekusi diperlengkapi dengan perisai penangkis (nggiling/toda dan agang), dan diberi kebebasan untuk menangkis atau menyilih secara jantan serta meneriakkan sesumbar (paci) sebagai lambang keberanian, kejantanan dan jiwa kepahlawanannya. Kedua-belah pihak menggunakan busana adat yang sopan. Di bagian kepala dilindungi dengan “panggal” yang terbuat dari kulit kerbau. Senjata yang dipakai, hanya menggunakan cemeti (lempa), terbuat dari kulit kerbau juga. Di wilayah Borong dan Kota Komba, cemeti boleh disambung dengan lidi (koret). Pemain caci, kadang boleh menertawakan atau mengolok sinis (satir = kacik) terhadap lawannya dalam bentuk nyanyian atau go’et paci. Misalnya, “Cako: rani… toe itu ata rani.” Wale: “E… rani cama-cama bela…,” dst.
Pihak yang dinyatakan kalah, biasanya ditandai dengan luka yang mengenai wajah, bahkan hingga biji mata tercungkil (beké). Maka pihak yang kalah juga boleh menjawab nyanyian, sebagai tanda permohonan maaf sekaligus meminta penyelesaian secara damai. Selanjutnya, pihak yang kalah harus dengan rendah hati menerima kekalahan dan mengakui pihak yang menang, yang kemudian perkara tersebut diselesaikan secara kekeluargaan (woé nelu) di dalam rumah adat. Bila pihak yang kalah menerima dengan kerendahan hati, itu berarti akan terjadi perdamaian, kembali pada upacara hambor (rekonsiliasi).
Tetapi, sebaliknya ada pihak yang menunjukkan sikap menantang, seperti berbalas pantun berupa go’ét cigu nénggo, danding, déndé (k), dan lain sebagainya. Misalnya, cako: “Lémpa golo, o golo, golon e, o lémpa golo nia é nara lémpa golo,” dst. Atau, cako: “lémpa golo, o golo, golon e, e lima waé liba e nara lémpa golo.” Atau, alo ngalor lako…,”dll.
Syair lagu dan go’ét paci yang diungkapkan dalam bahasa lambang (simbolik) berirama pantun ini, zaman sekarang mempunyai nilai sastera yang amat dalam dan indah. Para pahlawan yang berani maju dalam sumpah adat (wada) itu bahkan diberi kebebasan untuk boleh menari (lilik) atau kelong dan kdendik di seputar arena terbuka (natas) yang ditonton banyak orang. Dari cerita “sumpah adat (bedil wada)” inilah, lahirnya sejarah permainan caci atau pentasan perang di Manggarai. Yang dilihat dan ditonton bukan lagi sumpa adat (wada) pembawa maut, tetapi rasa estetis, sopan santun keramahan, seni dan persaudaraan yang akrab, saling mengunjungi.
Bahkan di saat pentas caci, kaum muda bisa menemukan jodoh hingga menjalin hubungan kekerabatan (woé nelu). Namun pertandingan Caci hanya boleh diikuti oleh laki-laki. Sangat tabu dan haram dilakukan oleh wanita. Bahkan sebelum berlaga caci, orang harus berpantang untuk tidak “menyentuh” wanita.
Keuskupan Ruteng mencanangkan 2022 sebagai tahun pariwisata holistic. Genderang perang reksa pastoral kontekstual berbasis budaya local (inkulturasi), ditabuh sebagai implementasi Sinode III tahun 2013-2015, sejalan dengan penetapan Labuan Bajo sebagai kota wisata super premium. Maka terjadilah kapitalisasi terhadap nilai budaya dan kearifan local kita. Pentasan sanda, mbata, dan danding serempak menjelma menjadi komoditas pasar yang diperdagangkan demi kepentingan ekonomi dan popularitas bisnis. Istilah permainan caci berubah menjadi semiotika pasar. Pentas laga caci tidak lagi menyemarakkan ritual keramat, baik karong woja wole, upacara sakral penti, maupun wagal pada musim pasca panen. Tetapi dipentaskan di halaman hotel. Sanggar-sanggar seni saling bersaing berebutan, memanfaatkan moment kunjungan turis mancanegara dan domestic untuk menampilkan gaya permainan caci di tepi pantai berpasir putih.
Bahkan dipentaskan di dermaga pelabuhan demi menarik minat para investor atau para pemilik modal. Tak ada lagi istilah go’ét yang dikeramatkan sebagaimana ritual adat yang bersifat kosmis, magis, mistis dan religious berdasarkan falsafah adat gendangn oné dan lingkon pé’ang. Tak heran, bila busana caci yang menjadi lambang kejantanan orang Manggarai, dijadikan dandanan menor fashion show yang dikenakan oleh seorang gadis binal, Breldy Angela Lerrick, salah satu kontestan Sabu Raijua, NTT pada pemilihan Putri Indonesia.
Beberapa netaizen lain, mengapresiasi gaya Nona Lerrick dengan pernyataan, bahwa ini suatu tanda budaya kita tidak statis, kaku, dan beku. Tetapi berkembang dinamis. Tentu kita semua sepakat, bila ini dianggap sebagai kreasi modern. Asalkan dikemas dan dinarasikan dengan benar dan pada tempatnya. Agar nilai luhur budaya kita dikenal di mata dunia. Dan bukannya dipentaskan oleh seorang perempuan menor bergaya jorok, dengan paha terbuka tanpa ditutupi celana panjang putih, kain songke dan selendang.
Inilah contoh eksploitasi budaya yang membawa berkah secara ekonomi dan popularitas bisnis, tetapi malapetaka bagi pendidikan nilai kearifan local Manggarai. Siapa yang salah dan harus dipersalahkan? (*)
Penulis adalah pemerhati budaya, pendidikan, penulis buku dan pustakawan
