Guru Sebagai Sahabat, Bukan Musuh

Anselma Y. Jaut/Foto/Ist

Oleh  : Anselma Y Jaut dan Maria Marselina Rineldis Laham*

Sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu. Rumah kedua. Selain itu, sekolah merupakan tempat berkreasi bagi guru dan siswa agar relasi keduanya layaknya seperti sahabat.

Guru dan siswa merupakan dua elemen yang penting dan tak terpisahkan dalam proses pendidikan di sekolah. Baik dalam pembelajaran di kelas maupun kegiatan-kegiatan lain di lingkungan sekolah.

Karena itu, membentuk prilaku siswa di sekolah agar menjadi siswa -siswi yang berprilaku baik dan berakhlak mulia merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Yaitu memanusiakan manusia (Ki Hajar Dewantara). Namun, realitanya, ada sebagian siswa sulit dididik terkait pembentukkan sikap atau prilaku mereka saat berada di lingkungan sekolah. Bahkan ada siswa dengan sengaja ingin melawan guru melalui tindakan secara verbal bahkan tindakan fisik. Hal ini disebabkan ketidakpuasan dan ketidaksukaan siswa terhadap sanksi yang diberikan guru terhadap mereka. Padahal guru memberi sanksi bagi siswa merupakan bentuk pendidikan tanpa kekerasan.

Fenomena siswa melawan guru di sekolah bukan hal baru dalam dunia pendidikan kita, terutama di era pendidikan zaman sekarang. Guru memberi sanksi bagi peserta didik selalu ada alasan rasional. Misalnya siswa tidak disiplin atau tidak mematuhi arahan guru pada saat pembelajaran di kelas berlangsung. Hanya saja, tak pelak juga ada kekeliruan guru dalam pembelajaran maupun saat memberikan sanksi kepada siswanya. Tetapi guru selalu minta maaf kepada siswa tersebut. Hal ini menunjukkan, guru bukanlah makhluk sempurna, tetapi guru memiliki keterbatasan dan kekurangan, khususnya dalam mengendalikan amarahnya.

Maria Marselina Rineldis Laham/Penulis/Foto/Ist

Di sekolah guru selalu mengedepankan fungsinya sebagai guru dan mengabaikan kepentingan kepentingan pribadinya. Baik terhadap sesama sejawat maupun terhadap peserta didik. Hal itu semata-mata bentuk profesionalismenya sebagai pendidik yang patut dijadikan panutan.

Undang-Undang No 29 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jadi, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didiknya. Selain memberi materi pelajaran di kelas, guru juga berkewajiban membentuk prilaku siswa, agar kelak siswa tersebut selain memiliki kecakapan dalam ilmu pendidikan dan memiliki akhlak yang baik. Hal ini juga merupakan tujuan kurikulim 2013 (k-13). Yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan efektif serta mampu berkontribusi bagi  kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

Keakraban guru dan siswa di sekolah merupakan bagian dari metode guru dalam mendidik siswanya. Agar siswa tidak merasa takut, canggung, dan malu terhadap gurunya. Guru dan murid layaknya seperti sahabat yang memiliki kedekatan emosional yang baik.

Dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menjelasakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Jika mengacu Undang-Undang di atas, maka jelas fungsi dan peran guru, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik agar menjadi lebih baik.

Undang-Undang No 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak, pasal (1) menjelaskan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, atau pihak lain. Regulasi ini menuai tanggapan bervariasi dari orang tua siswa. Mereka cenderung meminta agar anak mereka tidak diperlakukan kasar, tidak boleh memberi sanksi dalam bentuk apapun di sekolah. Apalagi sanksi yang bersifat tidak mendidik. Padahal kecenderung orang tua siswa ini berimbas pada cara pikir siswa sendiri. Siswa berasumsi mereka tidak boleh mendapat sanksi di sekolah. Bahkan mereka mengharapkan selalu diperlakukan istimewa. Fenomena ini terkesan siswa boleh saja melakukan tindakan tidak terdidik di lingkungan sekolah yang berkaitan dengan nilai dan moral siswa.

Semua pihak perlu sadari, bahwa konteks kekerasan dalam dunia pendidikan berbeda dengan konteks kekerasan pada umumnya. Sebab sanksi kekerasan di sekolah itu merupakan bagian dari proses pendidikan dari guru-guru terhadap siswanya. Dan sanksi yang diberikan guru kepada siswa memiliki dasarnya, seperti siswa tidak disiplin atau tidak patuh terhadap guru di sekolah.

Di sekolah guru selalu mendidik siswanya dengan hati, tanpa ada diskriminasi apalagi mengintimidasi siswanya. Dalam penilaian hasil belajar siswa, misalnya, guru  memberi penilain secara objektif karena tanggung jawabnya mencerdaskan peserta didiknya.

Dalam konteks mendidik itu, diharapkan orang tua memberi motivasi kepada anaknya, membentuk sikap dan prilaku anak-anak berkarakter. Dukungan orang tua terhadap pendidikan siswa sangat penting. Sebab orang tua merupakan pendidik utama terhadap anak. Pembentukan nilai dan moral di lingkungan keluarga terbawa sampai ke sekolah.

Di sekolah relasi guru dengan siswa seperti sahabat. Jika mendapatkan prilaku atau tindakan tidak menyenangkan dari guru ataupun sesama peserta didik, ada mekanisme yang sudah ditetapkan sekolah. Mereka bisa mengadu ke wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atau melaporkan langsung ke kepala sekolah, agar para siswa bisa menemukan solusi atas persoalan yang mereka alami di lingkungan sekolah.

Sebaliknya, guru juga harus mampu mengendalikan emosi saat berhadapan dengan peserta didik yang berprilaku kurang baik. Dalam pemberian sanksi hendaknya bersifat mendidik dan penuh rasa kekeluargaan. Selain itu, guru juga diharapkan mampu membangun relasi yang baik dengan siswanya. Caranya memosisikan diri sebagai sahabat mereka. Dengan cara itu diyakini mampu menciptakan proses belajar mengajar efektif dan menyenangkan. Tidak ada lagi siswa yang takut, jengkel atau melawan guru saat mereka berada di lingkungan sekolah.

Relasi guru dengan murid sebagai sahabat tertuang dalam kode etik guru. Disebutkan guru menjalin hubungan dengan peserta didik dilandasi rasa kasih sayang, menghindari tindakan kekerasan fisik yang luar batas. Akhirnya, baik guru maupun siswa memiliki peran sama dalam mewujudkan pendidikan yang harmonis dan utuh. (*)

Penulis Mahasiswi PGSD Universitas Katolik St Paulus Ruteng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: