Oleh Yohansı Ľr dan Aril Bangka
Sebelumnya anggota Komunitas Lentera Relasi sudah mendaki puncak Bukit Pocolia. Bukit tersebut terletak di Desa Wejang Mawe, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur. Usai kegiatan itulah kami terdorong untuk bertualang ke bukit lain. Kami sepakat berkunjung Bukit Golo Mama. Pilihan ke Bukit Golo Mama berdasarkan informasi kisah lisan tentang bukit itu. Bahwa di atas bukit ada sebuah gua peninggalan dari nenek moyang dari Kampung Watu Ci’e bernama Anton Jeramat. Beliau dikenal sebagai Bapak AJ. Informasi awal inilah mendorong rasa ingin tahu kami.
Rencana semula kami sekelas akan mengekspose ke bukit itu. Tetapi ketika jadwal berangkat, banyak teman tidak bisa ikut. Jadinya hanya kami berempat ke sana. Yaitu saya Yefron Hasun, Gabriel Bangka, Yohanes Anugrah, dan Alfidi Nadu.
Tepat pukul 05.38, kami star dari Kampung Lamba, kampung asalnya teman Yefron. Langkah demi langkah kami jejaki seraya bercerita. Kami tiba di pintu masuk pendakian tepat jam 06.10. Tidak lupa sebelum mulai pendakian kami unjukkan doa perlindungan dari pemberi keselamatan. Jalur awalnya menanjak nan curam dan licin karena tidak ada penyangga pijakan kaki pada jalurnya. Pendakian di persulit tumpuan kaki yang beralaskan sandal jepit. Hanya saya yang menggunakan sepatu karena saya sudah menduga dari awal jalurnya tidak mudah di tapaki. Selain itu saya maklumi keterbatasan ekonomi setiap kami, tidak mecukupi untuk adakan peralatan pendakian.
Jalur menanjak kian berganti lurus dan rata tak terbendung pacet menusuk kaki mengisap darah. Di penghujung jalur rata banyak persimpangan berseberangan terbagi menjadi empat jalur. “Lewat mana sekarang kita?” tanya saya. “Lurus saja Serfos,” ujar teman Alfidi dan yohan.
Parang yang dibawah dari rumah mulai kami fungsikan untuk menebas rerumputan yang liar. Umumnya rumput liar itu didominasi rotan berduri. Saya kewalahan. Berniat membuka jalur baru tak mungkin, karena parang yang kami bawah ukuran besar. “Hanya cocok untuk babat kayu besar,” ujar saya.
Jalur semakin menukik tajam, rotan berduri menginjeksi seluruh tubuh. Tidak hati melangkah pasti kena durinya.
Meski penuh tantangan, cerita ria saat mendaki tak kunjung berhenti hingga tidak sadar sudah tiga jam pendakian menuju Bukit Mama. Tekat kami berziarah ke tempat itu sudah bulat, meski tantangan pendakian tak sedikit. Sebab seturut kisah juga di tempat tersebut seorang bapak pernah tinggal dalam waktu relatif lama. Informasi ini juga turut menggoda kami untuk terus melangkah
Apesnya semakin dekat lokasi tujuan, kami tak menemukan jejak dan keberadaan gua dimaksud. Maklum kami ke sana modal nekat saja. Tidak ada satu pun d antara kami yang pernah ke sana. Atau orang lain pernah ke sana yang kami ajak. Meski demikian, kami tetap nekat.
Setelah berjam-jam pendakian, kami istirahat sejenak. Sayup-sayup suara dari balik bukit samping terdengar jelas karena memang di samping Bukit Mama bersua pandangan dengan Kampung Lewe.
Saat istirahat itulah saya manfaatkan telepon salah seorang nenek terkait informasi letak pasti Bukit Mama. Sialnya sang nenek tidak tahu. Nenek itu hanya dengar cerita dari leluhur sebelumnya. Sementara letak pasti tidak tahu.
Mendengar informasi terbatas dari sang nenek itu, msing-masing kami bertepuk jidat. Serasa tak ada harapan dan perjalanan berjam-jam yang sudah kami tempuh itu sia-sia.
Salah seorang teman dari kami berempat mengusulkan agar kami menuruni rebis bukit yang sudah kami lintasi itu. Hanya jalur lain yang kami tempuh. Harapannya bisa ada tanda-tanda hasil dengan harapan kami. “Semangat adalah tepisan dari segala kamalasan dan Mencoba adalah jawaban dari sebuah keraguan!” Komitmen inilah jadi pegangan buat kami. Sehingga kami putuskan untuk berpacu lagi mencari tahu lenih lanjut informasi Bukit Mama beserta letak persisnya.
Kecewa?” “Tidak!” Perjalanan dilanjutkan. Saya pimpin membuka jalur sembari menepis tanaman rotan. Embun yang tertempel di dedaunan berpindah ke sekujur tubuh kami hingga akhirnya kami basah. Pacet terus menginjeksi kaki mengisap darah tak terhitung jumlahnya sudah dipisahkan dari kaki.
Sudah hampir lima jam penuh kami mencari letak persis Bukit Mama, namun tak kunjung dapat. Bermodalkan pandangan terang dari atas bukit yang turuni itu, kami lanjutkan perjalanan. Beberapa meter kami melangkah, kami temukan sebatang besi ditancap tegak berdiri. Makin dekat semakin jelas. Di sinilah kami yakin menemukan apa yang kami maksudkan. “Inilah tugu puncak dari Bukit Mama ini!, kami berguman.
Ternyata asumsi kami meleset. Sebab yang kami temukan itu, sebenarnya sebuah salib yang tak utuh lagi karena satu pilarnya sudah rubuh ke tanah. Meski demikian pemandangan ini kami abadikan. “Dokumentasikan ini,” Kata Gabriel.
Setelahnya kami coba menyisir lokasi sekitar salib itu. Dari penyisiran itu kami temukan bahwa lokasi tersebut bukan lokasi biasa saja. Tetapi sebuah altar. Batu-batu besar sebagai penyangga altarnya. Kami melanjutkan pencarian tentang letak pasti Bukit Mama, tetapi tak jua kami temukan.
Hingga pada akhirnya kami putuskan untuk turun bukit. Namun sebelumnya kami sepakat. “Ada baiknya kita rangkai logo komunitas kita di sini!,” saya menawarkan kepada tiga teman lain. Mereka setuju dengan tawaran saya. Maka mulailah kami rangkai logo komunitas kami. Bahan alam kami gunaka.. Tertulis ĽR. Kami abadikan peristiwa itu. Setelahnya kami putuskan untuk pulang.
Perjalanan pulang kami percepatkan langkah karena kami luncur sambil bermain-main beralaskan sandal jepit. Selain itu kampung tengah mulai bergemuruh minta asupan makanan. Akhirnya kami di titik awal pendakian. Senyuman lebar nan gembira masing-masing kami ekspresikan. Selanjutnya kami basuh muka membersihkan seluruh kaki yang terbaluut lumpur bercampur darah kering hasil gigitan pacet.
Usai membereskan semunya kami mampir ke rumah saya untuk makan. Beruntung saja mama sudah menyiapkannya. Di sela-sela makan, mami berbalas kisah lagi tentang perjalanan yang kami tempuh itu.
- Menyimak Makna
Meski informasi yang kami dapati tidak komplit, namun kisah petualangan kami berempat menorehkan jejak tersendiri. Bahwa pendakian kami ke Bukit Mama sangat sulit. Tetapi bagi kami sampai satu titik permenungan jika kita kaitkan dengan hidup ini.
Pertama, Hidup kita itu seperti mendaki sebuah bukit atau gunung di mana setiap perjalanan mempunyai maknanya sendiri sendiri. Banyak rintangan dalam perjalanan sebelum mencapai puncak dan begitu juga dengan hidup banyak s tantangan yang harus kita hadapi di setiap langkah demi mencapai sebuah kesuksesan. Dan ingat rintangan atau tantangan itu sangat berharga karena kesuksesan adalah bonus dari hasil perjuangan.
Kedua, Hiduplah seperti alam. Alam tidak pernah meminta kepada manusia untuk melestarikannya tetapi dia selalu memberikan keindahannya untuk dinikmati manusia. Alam juga tidak pernah membutuhkan manusia agar dia bisa hidup tetapi justru manusia yang sangat membutuhkan alam untuk dapat hidup. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kita harus belajar mengasihi sesama manusia tanpa harus membutuhkan untuk dikasihi.
Salam Literasi Salam Lestari Ekspolrasi alam Komunitas Lentera Relasi SMA Negeri 8 POCORANAKA
