Jejak Sejarah Golo Empu (2)

Tokoh Adat Maro,, Aloysius Jalus. Foto/dok SMAN 8 Poco Ranaka

Catatan Redaksi

Kelompok Gemar Menulis SMA Negeri 8 Poco Ranaka belum lama ini menggelar latihan jurnalistik. Salah satu obyek pengamatan dalam rangka latihan menulis adalah mengunjungi obyek wisata sejarah di Maro, Desa Poco Lia, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. Kunjungan tersebut menghasilkan beberapa tulisan. Denore.id menurunkan laporan itu mulai edisi ini.

Tokoh adat Maro, Aloysius Jalus, menjelaskan sebelum dikenal  dengn nama Benteng Empu, puncak bukit tersebut  sebenarnya  kampung tua. Tempat pemukiman warga suku perdana. Pertumbuhan kampung di puncak bukit cukup pesat.Namun nama Kampung Empu berubah sejak dijadikan Benteng pertahanan ketika peperangan antara Suku Leleng dan masyarakat Golo Danding.

Dikisahkan saat itu warga Golo Danding  sedang ketam padi di ladang. Suatu ketika empat  warga Suku Lelang yaitu  Popong Lageng ,Popong Rambu,Popong Alang,dan Popong Mempong melintasi kawasan dekat Golo Danding. Melihat empat warga itu, konon katanya  sedang  mencari tikus, maka   masyarakat Golo Danding mengejek mereka. Katanya, “itu saja yang kalian perbuat setiap hari, cari tikus. Makan tikus saja, pasti pantat penuh cacing kremi. Sudah begitu  makan sendiri, tidak ajak orang lain”

Setelah pulang dari lokasi buruan tikus, empat orang itu membahas  kata-kata penghinaan dari warga Golo Danding.  Lantaran rereka tersinggung berat dengan penghinaan itu, sekaligus sepakat penghinan  itu harus dibalas setimpal. Sebab hinaan itu tanpa sebab musebabnya. Apalagi ketika melintasi kawasan dekat mereka empat warga Suku Lelang itu, tidak mengganggu mereka yang sedang ketam padi. Atau melakukan tindakan yang merugikan warga Golo Danding.

Tua Adat Maro, , Aloysius Jalus, sedang melakukan ritual adat tesi ketika tiba di Golo Empu. Foto/dok SMAN 8 Poco Ranaka

Anehnya justru mereka menghina, mencemookan empat warga Leleng . Maka empat saudara itu mengadakan musyawarah. Mereka semakin bergairah membalas penghinaan itu karena di Golo Empu ada Wangka Pelang yang terkenal dengan ilmu bela diri atau ilmu kebal yang sulit dilumpuhkan dengan kekuatan apapun.

Namun sebelum rapat untuk putuskan siapa yang harus memimpin dalam pertempuran melawan warga Golo Danding, diadakan ritual adat dengan bahan persembahan seekor ayam. Terhadap ayam persembahan mereka nyatakan intensinya atau torok.

Setelah ayam disembeli mereka mengamati tanda-tanda pada hati ayam persembahan. Secara bergilir untuk semua empat orang itu.  Kurban pertama tidak memberi tanda-tanda apapun pada hati ayam persemabahan. Demikian persembahan berikutnya, belum ada tanda-tanda. Selanjutnya, ketika  persembahan ayam untuk Popong Lageng, pada  hati ayam persembahan perlihatkan tanda-tandanya. Maka disepakati Popong Lageng menjadi pimpinan perang.           

Setelah ada kepastian itu,   mereka mulai merancang beberapa perlengkapan perang yang terbuat  dari bambu dan tali  diikat pada kayu  bercabang. Pada saat musuh datang mereka langsung memutuskan tali dan  mendorong semua batu yang ada di Kampung Empu sehingga semua lawannya itu  mati tertimpa batu.

Alat perang tersebut mereka siapkan untuk semua sudut  Kampung Golo Empu. Sebab bagian Timur, Barat, Utara,dan Selatan ada jurang terjal.   Pada titik-titik masuk menuju Golo Empu ada onggokan batu sehingga memudahkan mereka memantau bila  ada serangan musuh.

Dalam peperangan tersebut warga Golo Danding menderita kekalahan. Banyak korban. Dan untuk menyelamatkan diri beberapa warga Danding mengungsi ke tempat aman dan jauh dari pemukinan mereka semula. (Kelompok Gemar Menulis  SMAN 8 Poco Ranaka)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!