Oleh Heny Maria Fatima Kelas XII MIPA
Hy guist namaku Heny, lahir di Kampung Ladok. Kampung kecil dan sederhana. Saat ini aku menetap di Desa Lento. Aku mau menceritakan kisah pahit yang pernah aku alami. Kisah ini terjadi saat aku duduk di bangku kelas III SMP.
Dulu orang tua tinggal di Ladok tanah kelahiran ibuku. Namun semenjak ayahku pindah tugas ke Dinas PPO Kecamatan Poco Ranaka, bapak mama pindah ke Lento. Sayangnya ketika mereka pindah ke Lento aku masih kelas II SD sehingga tidak bisa ikut pindah bersama kedua orang tuaku.
Di Ladok aku tinggal bersama dua saudaraku, kakak kandung dan kakak sepupu. Setelah naik kelas III SD barulah aku pindah ke SDI Lento tempat tinggal orang tuaku.
Kisah pahit ini baru terasa semenjak aku duduk di bangku kelas III SMP. Waktu itu aku masih berusia 15 tahun. Awalnya hanya timbul biji-biji kecil di sekitar payudaraku, hal itu aku anggap sepeleh. Sebab bentuk biji-biji tersebut sama persis dengan riwayat sakit cacar air yang pernah aku alami.
Namun setelah beberapa bulan aku mulai menyadari bahwa aku mengidap penyakit kanker payudara. Tetapi hal itu enggan aku sampaikan kepada kedua orang tuaku. Namun ternyata kedua orang tuaku mencurigai keadaan yang sedang aku alami. Hingga di suatu malam ketika ayah dan adik laki-lakiku sudah tidur, ibuku menanyakan tentang keadaanku.
“Nak kamu kenapa?” “Mengapa akhir-akhir ini ibu perhatikan, baju dekat payudaramu sering basah?” tanya ibu. Seketika itu aku menangis dan menceritakan keadaan yang sedang aku alami. Ibuku merasa bersalah karena dia melihat payudaraku yg sudah jelek ruapanya. Dengan keadaanku seperti itu tanpa pikir panjang ibu langsung obati luka itu dengan ramuan tradisional.
Mengobati lukaku secara tradisional karena pada waktu itu kondisi ekonomi keluarga kami sedang memburuk sehingga kedua orang tuaku tidak mampu membiayai rumah sakit. Meskipun demikian, alhasil luka pada payudaraku mengering dan sembuh.
Beberapa tahun kemudian saat aku kelas II SMA aku mulai merasakan lagi pahit getirnya penderitaanku. Sehingga kedua orang tuaku berinisiatif berobat ke kampung tanah kelahiran ibuku.
Selama satu bulan lebih aku merasakan pahitnya derita. Aku tidak masuk sekolah. Aku merasa tidak ada harapan lagi bisa pulih dari sakitku. Mengingat kondisiku makin parah, aku gelisah. Setiap hari terlintas di benaku kerinduan akan kedua orang tuaku,keluarga dan sahabat.
Aku membayangkan bagaimana jika ini adalah akhir dari segala kisah yang aku rajut selama belasan tahun. Tetes air mataku tak terhitung jumlahnya. Semuanya berujung pada keraguanku akan kesembuhan.
Harapanku saat itu hanyalah ingin bersama–sama orang yang aku cintai, ayah dan ibuku. Sebab selama menjalani pengobatan aku hanya berbaring di kasur tanpa berbuat apa-apa.
Dan akhirnya dalam keputusaan ternyata Tuhan punya rencana untuk saya. DIA menganugerahkan kesembuhan atas diriku. Namun setelah beberapa bulan pulih dari sakit, tiba- tiba penyakitku kambuh lagi. Sehingga ayah dan ibuku memutuskan merawatku di Rumah Sakit Umum Ben Mboi Ruteng.
Puji Tuhan setelah seminggu dirawat, akhirnya impianku untuk sembuh tercapai. Makasih banyak Tuhan. Makasih untuk cinta tak berujung dari ayah, ibu dan keluarga. (*)
