Lebah dan Lalat (3)

Buoati Manggarai Timur, Ande Agas, SH.MHum, saat membawa sambutan pembukaan kegiatan Duta Baca Indonesia di Manggarai Timur. Foto/Prokopim Manggarai Timur

Catatan Redaksi. Terhitung sejak 13 Maret sampai 15 Maret 2022, Duta Baca Indonesia, Gol A Gong berada di Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Manggarai Timur memfasilitasi kelancaran kegiatan rombongan selama berada di Borong. Di bawah tagline Membaca itu Sehat, Menulis itu Hebat, ziarah Duta Baca  Indonesia selama di  Borong Manggarai Timur memberi  energi baru. Seperti apa pernak-pernik jenaka jelajahnya, apa saja motivasi digagas Gol A Gong, Denore.id akan menurunkan secara serial mulai edisi ini.

Pesona  segar, berminyak,  dan menggairahkan ditularkan Duta Baca Indonesia, Gol A Gong. Deburan spiritnya terasa amat, menggelembung, dan bernyawa selama ada di Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Sejak 13 Maret sampai 15 Maret 2022, Gol A Gong yang bernama lengkap Hery Hendrayana Harris, menarasikan spirit baru. Ada yang patut digigu. Ada yang layak  dikenang. Ada pula yang sepantasnya diteladani dalam realitas kedirian kita.

Gol A Gong, sang penulis kaliber ini selalu menghadirkan pribadi sederhana. Apa adanya, tapi  menyihir daya pikat. Menyedot perhatian, merangsang salera untuk hadir dan dengar apa katanya tentang baca dan menulis.

Karena itu selama ada di Borong, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, pimpinan, Tino Nanga, mengantar, Gol A Gong, untuk mengunjungi  SMAK Pancasila Borong dan SMAN 2 Borong. Hadir  dan meresmikan Pojok Baca  Digital di SDI Peot. Lebih dari itu, Gol A Gong, tak segan membaur, bersenda gurau dengan anak-anak Komunitas St. Anderas Borong.

Komunitas St. Andreas, adalah kumpulan anak-anak usia sekolah yang memiliki semangat yang sama. Gairah yang meletup-letup. Kebersamaan yang sehat menghangatkan. Mereka selalu ada bersama menciptakan kreasi baru bernuansa positip. Aliran energi saling bersahut. Tukar kegemaran memadu ikhlas.   Kebersamaan dan ada mereka menjadi media jumpa, tempat merembuk dan mengisi sendi-sendi pendidikan yang membebaskan.

Refleksi anak anak, St. Andreas, luar bisa. Mengalirkan asa dan mimpi masa depan. Bernapas kegemaran ingin maju. Terkini komunitas ini sedang giat-giatnya berliterasi. Gesit berkelenjar tentang menulis. Mereka dipandu beberapa pegiat dan komunitas literasi.

Natas Labar menjadi ruang ekspresi ketika tenunan kata liar memikat dan obras kalimat  penuh emosi turun naik  layak ditayangkan kepada publik. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi bagian dari proses pembelajaran. Dan pembelajaran itu  hendak ditawarkan anak anak St. Andreas. Mereka ada untuk ada sesama yang lain. Ada untuk menyatakan mereka ada dalam aneka potensi dan serba bakat yang hendak dirapatkan dalam wadah Natas Labar.

Hampir semua tempat  berkunjung, Gol A Gong, selalu menegaskan dua hal yang sama pentingnya, “Membaca dan menulis!” Dua kegiatan intelektual-membaca dan menulis itu berada dalam birama yang sama. Dan itu hanya mungkin bagi orang-orang yang punya minat, salera, dan spirit untuk memulainya. Tidak ada kamus terlambat. Semua bisa mulai dan menghayatinya penuh kesadaran.

Foto Bersama/Anak anak Komunitas St. Andreas Borong foto bersama Duta Baca Indonesia, Gol A Gong saat sharing bersama anak Komunitas St. Andreas. Foto/Dokumentasi Komunitas St Anderas Borong.

Membaca menjadi ruang jelajah untuk memahami apa yang dikisahkan dalam buku. Apa yang dibaca menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Membaca menggelorakan gaya hidup. Membaca sanggup menaklukkan dunia. Jika ingin menguasai dunia bacalah. Tulislah.

Buktinya, tegas Gol A Gong,  sebagaimana dialaminya hingga kini. Bahwa kesempatan mendaratkan langkah di 20 negara  semata-mata hasil nyata dari membaca dan menulis itu. Jika tidak punya kapasitas itu, mustahil dirinya mampu mengunjungi Negara Negara itu. Tetapi karena kesanggupan merawat akal lewat  membaca dan kepiawaiaannya menuangkan ide gagasan briliannya menjadikan, Gol  A Gong, sebagai penulis tenar. Penulis yang telah menaklukkan dunia. Penulis yang disejajarkan dengan penulis hebat rahim Indonesia.

Karena itu, baginya menulis menjadi  akhlak yang membebaskan dan menyelamatkan. Menulis adalah tangkapan budi, meresap dalam kalbu, mengolah dalam akal dan merakitnya menjadi deretan kalimat-kalimat yang gurih, logis dan meledakkan pesan. Menulis dengan baik hanya mungkin apabila  membaca menjadi kebiasan.

Senada dengan itu, Bupati Ande Agas, SH.MHum, dalam sapaan buka kegiatan Duta Basa Indonesia, Gol A Gong, selama di Borong, mengingatkan betapa pentingnya membaca buku. Betapa dasyat hal poistip yang bakal kita peroleh ketika membaca menjadi  tradisi, gaya hidup, dan kebutuhan. Dengan membaca membawa  hidup  sungguh-sungguh menghidupkan.

Karena membaca sanggup menghidupkan kehidupan, terang Bupati Ande Agas, maka membaca menjadi cara mutlak menaklukkan dunia. Dunia dan segala problematika yang melingkupnya dapat diketahui dengan telanjang apabila orang rajin membaca buku.

Sayangnya kita sering mengabaikan kebiasaan membaca itu. Sering anggap enteng. Bahkan menilainya sebagi pekerjaan yang kurang menguntungkan secara ekonomi. Padahal hanya lewat membaca banyak dapat  menjadikan orang pintar. Pribadi bermutu. Pribadi yang mampu berkompetisi. Mampu bernalar secara sehat. Mampu merakit impian dalam spirit sehat pula.

Namun, realitas kekinian kita belum sampai pada tahap itu. Belum mampu mengendapkan kebiasaan membaca itu sebagai cara berada. Cara hidup.  Padahal deklarasi Manggarai Timur sebagai kabupaten literasi  menjadi spirit bersama agar kita semua mencintai buku dan membacanya.

Sejauh ini, di petak waktu yang ada,  banyak di natara kita justru terjerembab pada polarisasi kekinian  yang cendrung menggiring pada  kaca mata kuda-alias negatif. Kita tidak punya filter yang kuat sebagai dampak positip dari membaca. Kita malah bernafsu berkreasi  tanpa landas pijak yang kokoh. Misalnya  menulis tanpa dasar. Menulis sekadar “ejakulasi” intelektual murahan. Menulis dengan gaya miring dan negatif seakan menjadi gaya hidup baru. Dan ini membuktikan menulis tanpa dasar membaca yang kuat.  

Jadilah menulis sekadar penetrasi kemampuan terbatas dalam gairah yang meledak-ledak. Mutu tulisan sangat rendah. Produk intelektualnya ecek-ecek. Khwalitas kutu busuk dan sampah jadi tempatnya. Termasuk di dalamnya  ujaran kebencian yang sering meluap begitu saja, menunjukkan kedangkalan akal menjangkau substansi kebenaranya.

Berita yang disajikan tidak  berimbang adalah bahasa lain dari  karakter penulisnya. Menulis itu “Bahasa Hati”. Ketika menulis secara baik dan benar. Narasi  teratur, lentur, longgar, logis, renyah menggedor pesona pembaca untuk membaca apa tulisan kita itu. Inilah wajah penulis sesungguhnya.

Tetapi jika menulis berselimut kerdil, berjaket dangkal analisa dan logika dengkul miring maka produk tulisan itu tidak layak dibaca. Tidak bermutu karena pesannya sudah mulai dengan unsur negatif.

Penulis-penulis hebat, lahir dari tradisi kuat membaca. Membaca harus jadi santapan jiwa. Membaca hendaknya menjadi gaya hidup. Dan ini hanya mungkin datang dari keluarga keluarga yang memahami pentingnya membaca itu. Keluarga jadi tolak ukur sejauh mana menjadikan baca buku sebagai gaya hidup baru yang harus dipupuk dan disegarhangatkan sebagai santapan bermutu bagi otak manusia.

“Tak adanya tradisi membaca mengakibatkan karya tulisnya ecek-ecek. Ini  membuktikan kedangkalan daya nalar. Ini disebabkan minimnya  membaca, refleksi tanpa makna. Temuan kata pun asal jadi,” katanya.

SMPN 5 Borong/Guru pendamping literasi SMPN 5 Borong bersama dua siswa foto bersama Duta Baca Indonesia, Gol A Gong bersama beberapa penulis lokal usai kegiatan latihan menulis puisi dan cerpen. Foto/Dokumentasi SMPN 5 Borong

Membaca dapat mengolah budi, ketajaman refleksi dan cara pandang terhadap suatu persoalan. Betapa pentingnya membaca dan menulis yang dapat saya sejajarkan dengan perumpamaan lalat dan lebah.

Perilaku, tabiat, dan metanarasi budi kita menjadi konsekuensi atas apa dan cara kita berada. Disposisi batin yang kuat, refleksi mendalam  dan cara pandang berimbang adalah out put dari membaca dan menulis itu.

Membaca dan menulis, demikian Bupati Ande, sanggup mengasah naluriah manusiawi kita. Dan untuk mengatupnya saya berkisah tentang lalat dan lebah.

Disebutkan. Suatu ketika ada  perlombaan antara lalat dan lebah. Lomba pertama berisi tentang ketajaman mengendus, mencium, dan menangkap realitas di sekitarnya. Maka berkompetisilah  dua makhluk itu.

Pada  fase pertama, lalat juara karena lebih gesit dan cepat mencium segala aroma busuk. Sementara lebah menderita kekalahan karena tidak sanggup dan cekatan mencium aroma busuk itu. Hasil ini diakui lebah. Dan lebah tidak menolaknya karena  menderita kekalahan dalam kompetisi fase pertama itu.

Selanjutnya, atas usul lebah, diselenggarakan lomba lagi. Pesertanya masih sama; lalat dan lebah.  Kali ini obyek yang menjadi target diendus dua makhluk itu adalah mencium aroma bunga segar. Lebah berhasil keluar sebagai juara. Berhasil mengukir prestasi karena mampu menangkap dan mengendus aroma sedap pada bunga-bunga. Sedangkan lalat kalah telak. Tidak berhasil apa apa.

Sampai kapan pun dua makhluk itu jika berlomba selalu seri. Lalat menang mencium bau busuk. Pokoknya yang sifatnysa bau dan berbau pasti lalat juaranya. Itu spesialnya. Sedangkan lebah hanya menang pada aroma-aroma segar.

Di sisi jelas, dari sisi naluriahnya lebah lebih memikat pada bunga. Lebah tertarik pada aroma segar.Dia tidak berminat pada bau bau busuk. Alhasilnya lebah menghasilkan madu segar. Madu dapat menyembuhkan penyakit.  Sementara lalat ya.. nalurih memang pada kotoran. Maka lalat jadi sumber penyakit. Lentik jari-jarinya membawa malapetaka. Kuman penyakit yang dapat meremukkan manusia.

Tentu kita tidak persoalkan lomba kedua hewan bersayap itu. Yang paling penting bagi kita adalah  pembelajaran dan pesannya. Aspek positifnya. Apakah kita menjadi pribadi bermental lalat atau sosok bernaluri lebah?

Kristian Emanuel Anggur/Seorang penulis lokal, sedang sharing bersama Duta Baca Indonesia Gol A Gong, tentang keresahan dan kegundahannya tentang sulit biaya cetak buku. foto/Dokumentasi Prokopim Matim

Realitas hidup kita mencorakkan dua kenyataan. Ada yang menjadi orang baik. Pribadi yang diteladani. Pribadi yang mewariskan kebajikan kebajikan yang dapat kita wariskan.Demikian juga dalam cara pendangnya. Dia tidak tergoda pada hal-hal nestapa yang menghancurkan orang lain. Pribadi yang sanggup menempatkan diri pada sisi mana mewartakan kebenaran dan keadilan. Dan biasanya lebih jujur, alergi kebohongan dan sulit terinfeksi virus-virus negatif yang merugikan orang banyak.

Sementara orang kerdil. Otak pendek cendrung memihak pada hal-hal negatif. Getol menyebarkan isu sesat. Pandai beranda-andai. Bahkan bakat menyebarkan hal hal busuk menjadi hobi dan bakatnya. Cara pandangnya selalu negatif dan mau menang sendiri. Dan penyakit itu menjadi imun kuat dalam tubuhnya. Lalu kebohongan di atas kebohongan dianggap sebagai kebenaran umum. Sedih..!

Lalu? Cara baik mengolah diri adalah merawat akal lewat baca banyak. Refleksi dan menulis. Membaca dapat merubah cara pandang. Tetapi jika tidak ada niat untuk memahami dunia secara baik, benar, dan berimbang, kita tetap menjadi lalat dan sumber permusuhan.Bahkan aktor yang mendesain segala hal yang berbau najis dan kotor.

Kita jadi lalat atau madu? Terserah Anda. Yang jelasnya, dunia jadi hakimnya dan sesama jadi saksinya.  (Kanis Linas Bana/bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: