Oleh Kanis Lina Bana*
Rocky Gerung, sosok kontroversial. Bejingan tolol. Sock intelek, filsuf gadungan, klaster snobisme, orang gangguan jiwa. Bisa jadi sedang galau sehingga aliran pikirannya meledak-ledak tanpa kontrol. Seolah-olah serba tahu segala. Bikin malu saja. Bikin gaduh yang tidak perlu. Hanya cari sensasi murahan.
Katanya intelektual, filsuf, ko..pernyataannya kontroversi. Hemat saya ada yang tidak beres dengan hidup dan kehidupan seorang Rocky Gerung. Sayangnya, perlakun terhadapnya seolah-olah begitu penting. Apalagi liputan media suka besar-besarkan seorang Rocky Gerung.
Pikiran saya tiba-tiba plesir sampai Jakarta sana. Dan sosok Rocky Gerung jadi alamat saya tumpahkan kemarahan. Padahal sedang baca buku. Buku Monolog. Buku lama terbitan Penerbit Lamalera, Jogyakarta dengan pengantar Ignas Kleden.
Saya baca ini untuk bekal pengetahuan sebagai juri lomba tutur tingkat SD dan SLTP se-Kabupaten Manggarai Timur 10 Agustus sampai 12 Agustus 2023. Bagi saya, pengetahuan dasar tentang tutur itu menjadi referensi dalam memberi penilaian jernih dan obyektif bagi semua peserta. Bukan saja pesona tampilnya tetapi hakekat cerita yang dituturkan. Kolaborasi pengetahuan dan amatan aktus pentas di atas panggung sangat berarti.
Mengapa? Karena bagi saya lomba tutur memiliki tingkat kesulitan lebih dari sejumlah materi lomba yang dikompetisikan peserta tingkat SD dan ALTP Manggarai Timur. Karena itu dasar penilaian selain mengacu kriteri panitia, perlu ada background dari sisi pengetahuan tuturnya. Itu sebabnya saya baca buku referensi.
Apa yang saya tempuh itu bukan sock intelek, tetapi tanggung jawab moral. Karena bagi saya dipercayakan sebagai juri bukan saja bentuk kehormatan, tetapi komitmen intelektual dipertaruhkan. Itu sebabnya butuh asupan pengetahuan agar martabat yang dipercayakan itu saya tunjukan secara profesional.
Tetapi entah mengapa, sosok Rocky Gerung, mendarat di akal pikiran saya. Saya termangu dan memaksa untuk berpikir tentangnya. Maka lahirlah tulisan pendek ini.
Nampaknya dari judul,” Lenyapkan Rocky Gerung” terkesan anker, nekat dan menakutkan. Terlalu berani. Bisa juga bikin sibuk diri. Toh ada institusi yang bakal menyeretnya. Lebih dari itu sebagai anak kampung mampukah saya melenyapkan seorang Rocky Gerung, sedang jarak memisahkan. Kalau ada bentuk lain, apalah artinya seorang rakyat jelata. Pasti kurang berdampak. Tidak berdaya efeck.
Sejujurnya saya tidak pernah berjumpa face to face dengan seorang Rocky Gerung. Saya hanya lihat di TV dan beberapa chanel you tube. Biasanya saya tidak konsen lihat wajah dan dengar alur argumentasinya. Sebab pernyataanya kurang-tidak mencerminan seorang intelektual yang belajar filsafat.
Padahal hakekat Filsafat mencari kebijaksanaan. Yang dimainkan Rocky Gerung justru sebatas bergenit ria saja. Ejakulasi intektual murahan. Saya tidak terpikat, meski sebagian orang mengakui gagasannya, yang konon katanya brilian. Untuk saya tidak. Saya paham hakekat filsafat itu. Pencerahan budi dan kebijaksanaan menjadi fundamental filsafat.
Yang menohok dan menggeliat di ulu hati saya belakangan ini adalah perdebatan kaum intelektul, aktivis dan politisi terkait pernyataan terkini Rocky Gerung yang sensasional dan menyakitkan itu. Betapa tidak sarkasme-bejingan tolol yang dilecutkan seorang Rocky Gerung tidak saja melukai hati seorang Presiden Joko Widodo, tetapi masyarakat Indonesia juga. Tidak mengherankan bela duka dan derita dari sejumlah elemen mengalir deras. Menuntut Rocky Gerung dihukum setimpal sesuai perbuatannya.
Memang sosok Rocky Gerung sudah sering diseret ke aparat hukum. Namun selalu luput karena alat bukti tidak cukup kuat. Belum lagi kepiawaianya berkelit dengan main kata dan logika. Sehingga delik hukum yang diadukan rontok begitu saja. Ini yang membuat Rocky Gerung makin bajingan. Makin liar, acuh tak acuh dan mempersetankan semua. Otak liar dan nakalnya leluasa mengatai sesuka hatinya.
Hemat saya terlalu muda melenyapkan seorang Rocky Gerung itu. Tidak perlu dengan cara Orde Baru, sebagaimana yang sudah-sudah. Tidak perlu juga dengan proses hukum karena bakal banyak pihak yang membelanya. Cukup gerakan kaum jurnalis.
Caranya, satukan semua organisasi media. Media bersatu. Bulatkan opsi dan tekat untuk menghentikan semua berita atau liputan apa saja berkaitan dengan Rocky Gerung. Istilahnya blacklist Rocky Gerung dari liputan media. Cara ini efektif. Jika cara ini ditempuh, cepat atau lambat Rocky Gerung bakal hilang dari peredaran publik. Rocky Gerung pun lenyap. Sederhanakan!. (*)
Penulis; jurnalis, menulis 14 buku. Caleg No. 1 Partai Perindo
