google.com, pub-6484823448236339, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Literasi Seujung Kuku

Alfred Tuname/Ist.

Oleh: Alfred Tuname

Suatu waktu, di kota Paris, masyarakatnya gemar membaca. Minat bacanya sangat tinggi. Toko-toko buku menjamur. Buku dijajahkan di kedai dan kafe. Warga Paris melahap semua jenis buku bacaan. Kegemaran membaca itu terjadi pada abad ke-18. Itulah awal dimulainya zaman Pencerahan, Les Lumieres.

Spirit zamannya adalah kebahagiaan. Seorang revolusioner Prancis, Saint Just, menyebutnya “Le bonheur est une idee neuve en Europe”. Kebahagiaan adalah sebuah gagasan baru di Eropa. Bahwa kebahagiaan tidak bisa ditunda, apalagi untuk pasca-kematian (bdk. F Budi Hardiman, 2019). Carpe diem! Dasarnya, aktifkanlah kekuatan rasio, berpikir. Sapere aude (gagasan filsuf Emmanuel Kant). Caranya, baca, baca dan baca buku.

Itu fenomena awal masa Pencerahan. Sekarang, soal baca buku, diistilahkan dengan literasi. Kita baru mulai, di Prancis sudah digenjar sejak abad ke-18. Literasi kita dipaksakan melalui program jangka pendek, di Prancis didasarkan atas kesadaran pribadi. Kalau kita mesti terus “disuntik”, di Prancis sudah terdapat banyak ide yang menyerupai jarum di kepala citoyen-nya.

Itulah realitasnya. Peradaban Prancis sudah berkembang sejak lama. Indonesia baru terbentuk di abad ke-20 (:tahun 1945). Di awal abad ke-20 itu, literasi memang sudah muncul di Indonesia. Tulisan dan bacaannya seputar perjuangan melawan kolonial. Tetapi berliterasi saat itu masih sebuah kesadaran elit, bukan publik. Dengan kesadaran berliterasi, para tokoh bangsa saat itu bisa berdiplomasi dan berdebat dengan kaum penjajah. Di antaranya, ada Soekarno, Mohamad Hatta, Tan Malaka, Agus Salim dan Sutan Sjahrir. Mereka tidak hanya baca, tetapi menulis buku.

Pasca-kemerdekaan, Indonesia terjebak dalam semangat indoktrinasi: Orde Baru, Orde Lama dan Orde Hoax (:Reformasi). Orde Lama (Orla) sesak dengan ideologi Nasakom; Orde Baru (Orba) tambun dengan slogan “Pancasilais”; Orde Reformasi ditimbun patgulipat hoax (informasi dan data palsu). Pada Orla dan Orba, literasi berkembang dalam tempurung kepentingan politik kekuasaan otoritarian. Di Orde Reformasi, semuanya kabur (obscure). Kebenaran tersamarkan kepentingan politik kekuasaan. Lagi-lagi, literasi dekat sekali dengan kekuasaan.

Relasi literasi dan kekuasaan itu bukan seperti yang dimaksudkan oleh pesan modernitas Francis Bacon, “knowledge is power” (scientia potentia est). Yang dimaksud Bacon adalah pengetahuan yang terbentuk dari observasi indrawi, dan kuasa adala kuasa atas alam. Bahwa dengan menundukan alam, manusia bisa sejahtera melalui pengetahuannya (bdk. F Budi Hardiman, 2019).  Lebih dekatnya dengan Michael Foucault, “power is knowledge”. Kekuasaan ada dalam pratik-praktik pengetahuan dan agen institusional. Cara kerjanya, dengan hegemoni, bukan dominasi.

Kalau di zaman Orla, hegemoni diinfiltrasi dengan kumandang slogan-slogan ideologis. Di zaman Orba, uniknya, sekaligus hegemoni dan dominasi digunakan untuk melambatkan tumbuh-kembang literasi. Di Orde Reformasi, buzzer menggelembungkan hegemoni politik kekuasaan. Ruang publik pun tertumpuk dengan informasi yang dangkal.

Ruang publik juga penuh dengan tontonan. Buzzer juga mengisi konten tontonan itu. Sebenarnya tidak jadi soal, sebab kita sudah terjebak dalam masyarakat “spectacle” (istilah Guy Debord). Sayangnya, konten tontanan itu pun tidak tuntas, hanya berisi penggalan-penggalan ceramah pada demagog politik dan hiburan dangkal. Kalau netizen tak kuat literasi (:bacaan), pasti akan digeret kepada agenda kepentingan politik jangka pendek. Tak hanya politik, semua aspek kehidupan digeret pada kepentigan sepotong itu. 

Kepentingan pragmatis sepotong pun terlihat dari berbagai deskripsi soal literasi. Dalam berbagai diskusi, disebutkan bahwa tingkat melek huruf kita sudah baik; tingkat baca-tulis kita sudah mumpuni. Informasi statistiknya pun disodorkan. Katanya, literasi itu bukan lagi soal “baca-tulis”, melainkan soal pemahaman dan hasrat untuk terus belajar (desire to learn).

Informasi seperti itu terkesan menghibur. Tampaknya hanya membela diri alias alibi, karena realitasnya masih jauh panggang dari api. Apa dasarnya, bisa paham tanpa geliat baca-tulis? Idealnya, ada linearitas antara tingginya tingkat “baca-tulis” dengan pemahaman. Lantas apa yang dibaca? Apa yang ditulis? Jangan-jangan kita terlalu sibuk dengan ayat-ayat keagamaan (meskipun laku tolerensi kita masih miris).

Realitasnya, tingkat melek huruf dan minat baca kita masih rendah. Bukan soal mengenal huruf, tetapi malas “melihat huruf”; bukan soal minat baca, tetapi akses terhadap buku berkualitas masih rendah. Ukurannya bukan terletak di kota-kota sepanjang Anyer-Panarukan, tetapi di luar wilayah itu. Kalau harga pertalite mahal, mana mungkin ada tabungan dana untuk membeli sebuah buku.

Jadi, soal literasi mesti dikembali ke persoalan dasar membaca dan menulis. Aktivitas baca dan tulis mengaktifkan nalar berpikir dan menguatkan pemahaman seseorang. Dalam pengalaman membaca dan menulis, ingatan seseorang pun bisa lebih panjang. Hasrat untuk terus menemukan hal-hal baru pun timbul dengan mudah.

Memang, tidak semua orang mesti jadi penulis. Tetapi kalau ada banyak penulis, berarti banyak buku yang dibaca. Korelasi itu pernah diungkapkan dalam kesadaran Ayu Utami (sastrawan), “makanan penulis itu baca buku”. Tak pernah ada penulis baik kalau ia jarang membaca banyak buku. Seorang penulis baik biasanya logika bahasa dan pemahaman persoalannya pasti baik.

Bagusnya, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, mencoba untuk memahami itu. Sebagai menteri, ia paham betul bahwa tingkat literasi kita masih rendah. Karena itu, sebelum terlambat, literasi mesti menjadi prioritas utama dalam pendidikan dasar dan menengah (selain numerasi dan pendidikan karakter). Pemarka literasi itu terletak pada gradasi “dengar, bicara, baca dan tulis”.

Dengan kurikulum Merdeka Belajar, dunia pendidikan semakin bergeliat. Ada proliferasi literasi; ada praktik numerasi yang kontekstual; ada proksi pendidikan karakter searah local wisdom. Literasi tidak hanya ada di ruang kelas, tetapi dilombakan di tiap tingkatan; numerasi tidak hanya dideskripsikan di kelas dan laboratorium, tetapi dipraktikkan di halaman dan kebun sekolah; pendidikan karakter tidak hanya dijabarkan dalam narasi besar filsafat moral, tetapi didekatkan dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Yang digagas Nadiem Makarim itu sudah sangat luar biasa. Nait dan praktik baik itu mesti merembes hingga seantero negeri. Para guru pun diharapkan semakin kreatif dan inovatif. Tidak hanya Guru Penggerak, tetapi semua guru mesti kreatif dan inovatif. Kalau guru baca buku dan menulis, murid pun akan termotivasi. Sebab bagi murid, guru selalu menjadi sosok inspiratif. Guru dianggap kiblat semua ilmu pengetahuan.

“Pahala ilmu akan abadi dan terus mengalir dengan cara diajarkan atau ditulis”, kata Jalaluddin as-Suyuthi (cendikiawan Mesir). Untuk dunia literasi kita, pikiran imam Suyuthi itu tepat. Lebih tepat lagi kalau ilmu itu ditulis dan diajarkan biar kita makin damai dan beradab. Amin.

Esais dan Penulis Buku “le politique” (2018)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: