Mempersoalkan Belis dalam Budaya Manggarai

Oleh: Kristian Emanuel Anggur*

 “Gosip Belis Rp 2 Milyard Pernikahan Anak Pejabat Asal Manggarai (NTT Expres, Rabu 22/6/ 2022) viral di medsos.” Dijelaskan, tangkapan layar diambil dari percakapan via WhatsApp. Gosip “paca mésé”, jadi viral menjelang pernikahan sepasang kekasih, anak “data bora éros” (pejabat kaya) asal Manggarai, NTT, yang berdomisili di Jakarta. Penulis agaknya terperanjat. Betapa tidak, gosip belis mahal, melebihi batas ideal ini mengundang beragam reaksi pro-kontra para netizen. Ada yang berkomentar, belis terlalu mahal bagi yang menjalin ikatan kekerabatan (woé nelu).  Ada yang bilang, bertolakbelakang dengan adat budaya sederhana “acér nao, wasé wunut” sebagai filosofi kesahajaan orang Manggarai. Secara moral, mengabaikan rasa empati terhadap kaum papa yang hidup susah di pelosok pedesaan miskin (ekstrem) di Manggarai raya. Kapitalisasi budaya belis, merupakan hal yang tak biasa. Berlebihan! Mewariskan nilai elitis-metropolis bagi komunitas milenial lokal Manggarai.

Bagaimana pusaka belis menurut adat budaya orang Manggarai? Berbicara tentang belis, berarti bicara soal nilai ikatan kekerabatan rumah tangga secara luas. Nilai rumah sebagai simbol kesejahteraan hidup perkawinan. Kesejahteraan hidup berumah tangga dan regenerasi keturunan yang sehat. Tentang keluarga. Para leluhur kita tak pernah meletakkan belis dengan nilai nominal (cost) ekonomis. Maka sangat sulit untuk diterangkan. Ada nilai rasa yang sukar dinarasikan secara verbal-tulisan, tanpa melihat nilai (value) filosofi sejarah budaya Manggarai.

Membaca makna simbol rumah dan nilai-nilai filosofi hidup berumah-tangga bagi orang Manggarai, digambarkan oleh Bapak Andreas Agas (wawancara lepas: 29/02/2020), harus dimulai dari apa yang tersirat di dalam symbol lingkaran ‘lodok’ berbentuk sarang laba-laba, gendangn oné – lingkon pé’ang. Lingkaran lodok, memperlihatkan pandangan kosmologi yang utuh, penuh, sempurna dan bulat. Menurut beliau, kita perhatikan saja konsep rumah adat (mbaru niang) yang berbentuk bulat kerucut. Rumah gendang bagi orang Manggarai, diaplikasikan sebagai simbol “ibu” yang mengandung, melahirkan, menyusui, dan memelihara. Maka untuk mendirikan rumah adat, harus diawali dengan ritus upacara pengambilan “siri bongkok” (tiang induk, tiang agung) yang disebut “roko molas poco” (meminang gadis dari puncak gunung). Prosesi roko molas poco, menandakan sang gadis gunung yang diambil sebagai calon ibu (te ciri endé laing) dan dijadikan tiang agung, tiang penentu dan soko guru rumah tangga. Kehadiran Sang Ibu pemberi kehidupan, harus diusung, diarakkan, dan ditandu setinggi-tingginya dengan penuh rasa hormat melalui restu dari lingkungan, roh leluhur dan pemilik alam (Mori Keraéng Ata Jari Agu dédék).

Ada lima bagian bangunan rumah yang memiliki makna fisosofi hidup bagi orang Manggrai. Misalnya, 1) ngaung, 2) redang, 3) lutur, 4) lobo koe, lentar, 5) sekang kode, bubung mbaru.  Salah satu bagian bangunan, disebut lémpa raé; lentar atau lobo koé, léba koé; berfungsi untuk menyimpan benih sebagai persiapan saat bercocok tanam,  dinamakan sebagai ni’i atau wini. Wini atau ni’i dianalogikan sebagai sel sperma (Latin: semen) dan indung telur, yang akan jatuh ke bawah, tepat di atas tungku api atau perapian (sapo agu likang).  Ada lima batu tungku (likang lima), tempat dimana periuk nasi dan sayur biasa dimasak, sebagai symbol hubungan suami-istri. Di atas periuk nasi dan sayur ini, terjadi pertemuan kedua sel telur dan sperma. Benih perkawinan kosmis yang disatukan di atas tunggku  perapian (sapo agu likang), akan disebarkan beranak-pinak ke pondok dan kebun cekang agu uma (istilah lain untuk anak wina) atau pengantin laki-laki. Dari sinilah awal kisah penciptaan (Jari agu Dédék), siklus inkarnasi maupun regenerasi menurut orang Manggarai. Karena itu, “mbaru gendang” yang berbentuk bundar kerucut, dibangun di atas sembilan tiang utama. Melambangkan peran seorang ibu yang mengandung anak selama Sembilan bulan. Melahirkan, menyusui, dan memeliharanya.

Menurut adat budaya Manggarai, mengambil hasil hutan dengan cara merusak alam tanpa seizin kelima unsur ekosistem alam lain, akan mendatangkan bala bencana (‘tullah’) yang menimpa kehidupan manusia penghuninya. Dalam prinsip kesatuan harmoni yang bulat (utuh), orang Manggarai digambarkan sebagai bagian dari ekosistem dalam satu denyutan nafas hidup dengan yang lain, dan saling menghidupkan. Ritual penghormatan terhadap pemilik alam melalui upacara adat penyilihan, pemulihan dan pemurnian dijalankan untuk menyelaraskan kembali hubungan dengan manusia agar sejalan dengan irama alam yang menghidupkannya. Sehingga bangunan rumah gendang menjadi kuat, kokoh, juga penghuninya dapat berkembang subur, sehat, damai, sejahtera sebagaimana keutuhan alam ciptaan. Jauh dari  perpecahan, cekcok, sakit dan penyakit yang aneh, cacat fisik dan mental, gagal panen, hama dan penyakit tanaman, iklim dan cuaca buruk, dll.

Apa hubungan Roko Molas Poco dengan Penentuan Belis?

Sejalan dengan upacara roko molas poco di atas, saat acara adat “taéng wina” (peminangan gadis), sebelum memulai pembicaraan adat, harus diawali dengan acara “kengko” (membangunkan Sang Ibu). Acara kengko Endé’n, diartikan sebagai membangunkan ibu kandung si gadis. Bahwa setiap tindakan adat dalam ritus adat taéng wina, harus direstui doa (persetujuan) sang ibu yang mengandungnya, selaku pelindung dan pemelihara kehidupan. Secara adat, kengko, merupakan ungkapan yang sakral atau pengkeramatan terhadap sang pemelihara dan pemberi hidup (Mori agu ngara’n). Selanjutnya, Sang Gadis, dihormati dan dihargai setinggi-tingginya seperti alam puncak pegunungan yang akan menuangkan berkat, mengalirkan rahmat air hidup bagi manusia dan alam semesta.

Acara kengko endé’n (membangunkan sang bunda), biasanya dilanjutkan dengan memberi penghargaan terhadap air susu ibu (waé cucu de endén). Penghargaan terhadap air susu yang pernah menghidupkan si anak. Jawaban dari sang ibu atas penyerahan air susu ibu, disimbolkan dengan pemberian restu berupa benda wida, seperti lipa songke (kain songke). Biasanya dibalas dengan mahar yang disebut wali wida atau belis. Dari sinilah dimulainya istilah wida dan wali wida atau paca (belis atau mahar). Istilah wida dan wali wida (paca), bertujuan menghormati, memperkuat hubungan kekerabatan “woé nelu”, yang diistilahkan dengan ikatan “acér nao wasé wunut” antara pihak anak rona (pemberi gadis) dengan pihak anak wina (penerima gadis). Di sini terjadi keseimbangan (equal), antara pihak pengantin laki-laki dan pengantin wanita. Upacara sakral, ikatan acer nao wase wunut mengukuhkan hubungan personal suami-isteri, ditandai dengan simbol wida yang diterima dan dihargai berupa benda wali wida (paca). Dalam proses interaksi saling memberi dan menerima antara kedua keluarga besar pengantin wanita (anak rona) dan keluarga besar pengantin laki-laki (anak wina), harus direstui oleh keluarga besar, asé ka’é, pa’ang olo ngaung musi, salang agu wétas yang turut mendukung secara moril dan material. Sehingga rumah tangga baru, diteguhkan dan sah menurut hukum adat, dan hidup mereka bertahan, langgeng, kuat dan kokoh. Kehadiran keluarga besar juga berfungsi memberikan perlindungan dan kontrol sosial terhadap kelangsungan hidup keluarga baru. Kawin-cerai tidak dikenal dan tidak diakui oleh orang Manggarai. Bahwa keluarga besar anak rona dan anak wina, salang agu wetas, pa’ang olo agu ngaung musi, tidak akan berkumpul lagi untuk pernikahan (nempung) kedua kalinya. Perkawinan adat Manggarai sesungguhnya mirip dengan prinsip moral pada sakramen perkawinan gereja Katolik, yakni “monogam” dan “tak terceraikan.” Poligami baru dikenal menjadi gejala baru di Manggarai sebagai akibat pengaruh kebiasaan umat muslim, pembesar-pembesar dan orang kaya (ata bora) pada masa setelah ekspansi kerajaan Islam tradisional, seperti Goa-Tallo dan Bima.

Mengikuti prosesi taéng wina di atas, dapat disimpulkan, bahwa belis dalam pandangan budaya orang Manggarai, merupakan pemberian restu yang sangat sakral serta sarat makna dan nilai kosmis, magis, mistik, dan religius. Sebagai representasi nilai perkawinan kosmis antara ema éta agu endé wa (bapa langit dan ibu bumi) selaku sang pemilik kehidupan (Mori Ata Jari Agu Dédék). Jadi, paca dan wida menandakan penghargaan terhadap harkat dan martabat perkawinan kedua pengantin, tanpa diskriminasi. Soal wida dan wali wida atau paca (belis, mahar), tergantung perundingan antara tongka (jubir) dari kedua belah pihak dengan mengingat latar belakang social-ekonomi masing-masing (lelo kin wuli weki musi olon). (Bersambung)

Penulis adalah penulis buku, peminat masalah sosial budaya Manggarai Tinggal di Borong, Manggarai Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!