google.com, pub-6484823448236339, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Menikmati Sunrise di Puncak Poco Lia

Sunset di puncak Poco Lia. Foto: Aril Bangka

BORONG, DENORE.ID ] Setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Setiap manusia memiliki kecantikan dan ketampanannya tersendiri. Semuanya hanya memerlukan mata yang tepat untuk memandang, karena seburuk-buruknya kita akan dimaafkan oleh dia yang memandang baik. Dan sebaik-baiknya kita akan dibenci oleh dia yang memandang kita buruk.

Awal rencana kami sekelas X1 MIPA, berjumlah 23 orang ingin Mengunjungi Bukit  Pocolia. Kita menyebutnya bukit saja karena tingginya hanya 300 Mdpl. Sementara  gunung tingginya  di atas 500Mdpl.

Tetapi rencana tinggal rencana. Dari sekian banyak warga kelas hanya kami delapan  orang yang meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat ini. Sementara  16 orang mungkin tidak punya waktu atau sibuk dengan pekerjaan sendiri atau karena memang hari Minggu. Dari delapan  orang tersebut, untung saja  ada adik kelas kami yang Mau ikut serta dalam pendakian ini. Jadinya kami berjumlah  sembilan orang.

Eh… kenalan dulu.  Saya Aril Bangka(Aril), Anastasia Ruly (Ruly), Sefrinigas Luks ( Rin), Alias Langgur (Ali), Yefron Y. Hasun (Yefron), Januarius Kenge (Radit), Inosensius R. Jereng (Riven), Yohanes Anugrah (Yohan), ditambah adik kelas kami. Saya menyapanya  Bung Weko, Karena memang saya tidak tau nama panjangnya.

Awal perjalanan kami Start jam 4.00 Wita- subu. Karena memang kami ingin kejar Sunrise di pagi itu. Untung saja alam  masih memberi kami kesempatan untuk menikmatinya, karena memang cuaca hari itu sangat bersahabat.

Awal perjalanan kami hanya delapan  orang karena Bung Yohan menunggu kami di rumah dan dialah guide  kami, karena Bung Yohan yang pernah ke bukit  ini.

Setibanya di Kampung Uwu, kami tidak mendengar berisik dari seorangpun karena memang Jam masih di angka 5:30 Wita. Kamipun meneruskan  berjalanan, meski betis sudah mulai terasa sakit. Mau istirahat takut ketinggalan, soalnya kami ingin menikmati sunrise di pagi itu.

Sekitar 2 KM perjalanan, akhirnya kami tiba di  bawah kaki  bukit Poco Lia. Seketika itu kami memandang ke atas. Ehh rasa takut mulai muncul dari dalam hati. Kami berjalan lagi dan tiba di Mawe. Di tempat itu kami tidak mendengar suara  satu orang pun dari warga setempat. Sebab hari masih sangat pagi. Mungkin orang-orang  di kampung tersebut capai  karena pekerjaan di siang hari hehehe.

Secara tak sengaja kami memandang ke arah  Barat. Dari kejauhan kami disambut pemandangan yang sangat  indah. Ketika kami melihat tebing-tebing yang agak jauh dari Kampung Mawe. Yang uniknya di situ masih ada kabut yang mengelilingi tebing tersebut. “Wahh  inilah tahap cuci mata yang sebenarnya!”

Tak lama kemudian, tibalah kami di jalur pendakian. Dari situ lintasan yang kami tempuh berubah total. Dari jalur aspal  kami harus melintasi jalan tanah yang masih basah akibat tetesan embun dari daun-daun pohon sekitar lintasan.Sekitar  30 meter dari awal jalur pendakian, kami sudah melihat pesona dari  bukit  tersebut.

Kami terus berjalan melintasi jalur sempit hanya pas untuk langkahkan kaki. Tetapi kami tidak menyerah begitu saja karena kata-kata penguatan dari  Yefron,Weko  Ali . “Puncak bang!”. Kalimat itu membuat rasa takut  hilang. Kini kami sadar  hutan adalah kehidupan penuh dengan misteri  yang kadang bisa menghancurkan hati dan pikiran tetapi di atas segala rintangan kita selalu menemui hikmah dan keindahan.

Kami terus berjalan hingga tiba di puncak bukit. Matahari belum juga tampak. Kami putuskan untuk istirahat sejenak sambil menikmati pemandangan sekeliling sembari menunggu Sunrise.

Tak lama berselang sekitar lima menit kemudian Sunrise muncul dengan pesonanya yang begitu indah. Kami pun mengabadikan momen tersebut. Sembari menikmati Sunrise tersebut kami berjemur tubuh. Kami menikmati pemandangan pagi itu sepuas-puasnya.

Setelah mengabadikan pemandangan di puncak bukit kami tinggalkan puncak Poco Lia. Setibanya di kampung Mawe, kami  bereskan urusan  logistik, karena perut sedang berbunyi alias lapar.. Logistik seadanya itu mengganjal perut agar kami bisa pulang. Dalam pikiran saya muncul perasaan ini, “Ehh tadi saat kami naik menuju puncak bukit, perjalanannya  seperti sangat jauh. Tapi ketika pulang  sepertinya  jadi dekat”. Itulah misteri.

Kami berjalan pulang sambil merancang pendakian ke baru yang akan kami tempuh. Karena asiknya kami mendiskusikan hal itu,  tak terasa kami sudah tinggalkan kampung Uwu. Kami mendapat sapaan dari masyarakat setempat, seolah-olah kami orang penting. Padahal kami hanyalah anak kecil yang masih dalam proses untuk mencapai  Kesuksesan .

Kami terus melanjutkan perjalanan, hingga tiba di rumah Bung Yohan. Tak disangka ternyata keluarga Bung Yohan sudah menyiapkan pisang untuk kami nikmati seraya  menunggu makan siang yang sedang diproses. Kami pun melepas lelah sebentar sambil berbincang dan mendengarkan musik. Tidak hanya itu kami pun berkaraoke. Jam 2.00 Wita kami makan bersama. Usai makan bersama kami pulang  ke rumah masing-masing.

Dari kisah perjalan ini, kami sadar bahwa kami penikmat alam, serentak menunut kami untuk menjaganya. Keindahan alam mengajar kami untuk selalu merawat dalam cara kami. Yang paling berkesan dari pendakian ini, meski harus melintasi jalur sulit tetapi kepuasan kami rasakan.

Salam literasi dari Lentera Literasi SMA Negeri 8 Poco Ranaka

*Aril Bangka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: