
BORONG, DENORE.ID ] Setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Setiap manusia memiliki kecantikan dan ketampanannya tersendiri. Semuanya hanya memerlukan mata yang tepat untuk memandang, karena seburuk-buruknya kita akan dimaafkan oleh dia yang memandang baik. Dan sebaik-baiknya kita akan dibenci oleh dia yang memandang kita buruk.
Awal rencana kami sekelas X1 MIPA, berjumlah 23 orang ingin Mengunjungi Bukit Pocolia. Kita menyebutnya bukit saja karena tingginya hanya 300 Mdpl. Sementara gunung tingginya di atas 500Mdpl.
Tetapi rencana tinggal rencana. Dari sekian banyak warga kelas hanya kami delapan orang yang meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat ini. Sementara 16 orang mungkin tidak punya waktu atau sibuk dengan pekerjaan sendiri atau karena memang hari Minggu. Dari delapan orang tersebut, untung saja ada adik kelas kami yang Mau ikut serta dalam pendakian ini. Jadinya kami berjumlah sembilan orang.
Eh… kenalan dulu. Saya Aril Bangka(Aril), Anastasia Ruly (Ruly), Sefrinigas Luks ( Rin), Alias Langgur (Ali), Yefron Y. Hasun (Yefron), Januarius Kenge (Radit), Inosensius R. Jereng (Riven), Yohanes Anugrah (Yohan), ditambah adik kelas kami. Saya menyapanya Bung Weko, Karena memang saya tidak tau nama panjangnya.
Awal perjalanan kami Start jam 4.00 Wita- subu. Karena memang kami ingin kejar Sunrise di pagi itu. Untung saja alam masih memberi kami kesempatan untuk menikmatinya, karena memang cuaca hari itu sangat bersahabat.
Awal perjalanan kami hanya delapan orang karena Bung Yohan menunggu kami di rumah dan dialah guide kami, karena Bung Yohan yang pernah ke bukit ini.
Setibanya di Kampung Uwu, kami tidak mendengar berisik dari seorangpun karena memang Jam masih di angka 5:30 Wita. Kamipun meneruskan berjalanan, meski betis sudah mulai terasa sakit. Mau istirahat takut ketinggalan, soalnya kami ingin menikmati sunrise di pagi itu.
Sekitar 2 KM perjalanan, akhirnya kami tiba di bawah kaki bukit Poco Lia. Seketika itu kami memandang ke atas. Ehh rasa takut mulai muncul dari dalam hati. Kami berjalan lagi dan tiba di Mawe. Di tempat itu kami tidak mendengar suara satu orang pun dari warga setempat. Sebab hari masih sangat pagi. Mungkin orang-orang di kampung tersebut capai karena pekerjaan di siang hari hehehe.
Secara tak sengaja kami memandang ke arah Barat. Dari kejauhan kami disambut pemandangan yang sangat indah. Ketika kami melihat tebing-tebing yang agak jauh dari Kampung Mawe. Yang uniknya di situ masih ada kabut yang mengelilingi tebing tersebut. “Wahh inilah tahap cuci mata yang sebenarnya!”
Tak lama kemudian, tibalah kami di jalur pendakian. Dari situ lintasan yang kami tempuh berubah total. Dari jalur aspal kami harus melintasi jalan tanah yang masih basah akibat tetesan embun dari daun-daun pohon sekitar lintasan.Sekitar 30 meter dari awal jalur pendakian, kami sudah melihat pesona dari bukit tersebut.
Kami terus berjalan melintasi jalur sempit hanya pas untuk langkahkan kaki. Tetapi kami tidak menyerah begitu saja karena kata-kata penguatan dari Yefron,Weko Ali . “Puncak bang!”. Kalimat itu membuat rasa takut hilang. Kini kami sadar hutan adalah kehidupan penuh dengan misteri yang kadang bisa menghancurkan hati dan pikiran tetapi di atas segala rintangan kita selalu menemui hikmah dan keindahan.
Kami terus berjalan hingga tiba di puncak bukit. Matahari belum juga tampak. Kami putuskan untuk istirahat sejenak sambil menikmati pemandangan sekeliling sembari menunggu Sunrise.
Tak lama berselang sekitar lima menit kemudian Sunrise muncul dengan pesonanya yang begitu indah. Kami pun mengabadikan momen tersebut. Sembari menikmati Sunrise tersebut kami berjemur tubuh. Kami menikmati pemandangan pagi itu sepuas-puasnya.
Setelah mengabadikan pemandangan di puncak bukit kami tinggalkan puncak Poco Lia. Setibanya di kampung Mawe, kami bereskan urusan logistik, karena perut sedang berbunyi alias lapar.. Logistik seadanya itu mengganjal perut agar kami bisa pulang. Dalam pikiran saya muncul perasaan ini, “Ehh tadi saat kami naik menuju puncak bukit, perjalanannya seperti sangat jauh. Tapi ketika pulang sepertinya jadi dekat”. Itulah misteri.
Kami berjalan pulang sambil merancang pendakian ke baru yang akan kami tempuh. Karena asiknya kami mendiskusikan hal itu, tak terasa kami sudah tinggalkan kampung Uwu. Kami mendapat sapaan dari masyarakat setempat, seolah-olah kami orang penting. Padahal kami hanyalah anak kecil yang masih dalam proses untuk mencapai Kesuksesan .
Kami terus melanjutkan perjalanan, hingga tiba di rumah Bung Yohan. Tak disangka ternyata keluarga Bung Yohan sudah menyiapkan pisang untuk kami nikmati seraya menunggu makan siang yang sedang diproses. Kami pun melepas lelah sebentar sambil berbincang dan mendengarkan musik. Tidak hanya itu kami pun berkaraoke. Jam 2.00 Wita kami makan bersama. Usai makan bersama kami pulang ke rumah masing-masing.
Dari kisah perjalan ini, kami sadar bahwa kami penikmat alam, serentak menunut kami untuk menjaganya. Keindahan alam mengajar kami untuk selalu merawat dalam cara kami. Yang paling berkesan dari pendakian ini, meski harus melintasi jalur sulit tetapi kepuasan kami rasakan.
Salam literasi dari Lentera Literasi SMA Negeri 8 Poco Ranaka
*Aril Bangka
