Oleh Kanis Lina Bana*
Sepulang dari Gereja Peot-Borong-Manggarai Timur, Minggu (27/2/2022), saya mendapat kabar duka. Bapak Mus Wanggut meninggal dunia. Saya terdiam. Ada rasa bersalah mencungkil hati dan pikiran.
Sebab, hari-hari terakhir, saya mendapat informasi Bapak Mus Wanggut dirawat di RSUD Ben Mboi Ruteng-Manggarai. Hasil diagnosa dokter, menyimpulkan Bapak Mus Wanggut menderita gangguan jantung.
Dokter menyarankan agar, Bapak Mus Wanggut, menjalani rontgen. Saran itu tidak sempat dijalaninya. Bapak Mus Wanggut lebih memilih pulang ke rumah dan istirahat meski kondisinya belum benar-benar pulih.
Kabar ini saya peroleh dari anak mantu almarhum Bapak Mus Wanggut sendiri. Anak mantu ini bersama puteri semata wayangnya yang selalu menemani Bapak Mus Wanggut di rumah sederhana di Ruteng.
Seraya menanyakan perkembangan kesehatan Bapak Mus Wanggut, saya berjanji jika ke Ruteng segera menjenguknya. Namun cuaca tak kunjung akrab, serta agenda rutin agak padat menyulitkan saya segera menjenguknya hingga kabar duka kepergian Bapak Mus Wanggut itu datang.
Karena itu kisah pendek ini, menjadi selarik doa mengiringi kepergianmu Bapak Mus Wanggut. Maafkan saya tidak sempat menemanimu di hari-hari akhir sebelum dikau pamit. Yang jelas, ada rindu mengusung. Ada harap yang selalu tersisa. Dikau menjahitnya dalam narasi kuat, berisi, dan berotot.
Selamat memasuki Yerusalem abadi pejuang berhati emas. Engkau menorehkan kebajikan-kebajikan imamiah bagi kami yang dekat denganmu.
Melanglang di Tanah Jawa
Lepas dari Seminari Pius XII Kisol, kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Mus Wanggut, bertarung nasib ke Jawa. Niat semula hanya cari kerja. Cari uang. Kerja apa saja. Tetapi nasib membelokannya. Lantaran kemampuan otaknya cukup cerdas. Mus Wanggut-anak kampung ini berhasil lolos seleksi masuk universitas ternama Jogjakarta. Sebuah lembaga tinggi bergengsi.
Padahal peserta testing sangat banyak. Seleksi sangat ketat melewati empat tahap. Tetapi Mus Wanggut berhasil lewati semuanya. Dan dinyatakan lulus.
Sesungguhnya secara kebetulan Mus Wanggut masuk perguruan tinggi. Sebab tidak ada niat sedikitpun untuk kuliah. Mengingat biaya tak ada. Jangankan bayar uang kuliah untuk cukup makan saja masih morat-marit. Sekadar bisa ganjal perut saja.
Kondisi itu luput dari perhatian sesama dan kenalannya. Aktivitasnya dalam kegiatan liturgi dan koor gerejani. Pentas drama dan menulis puisi menjadi alasan bagi kenalan dan sahabatnya mendorong remaja Mus Wanggut untuk kuliah. Puisinya selalu menjadi sajian utama. Diksi, refleksi, dan pesan dalam puisi-puisi sajiannya sangat kuat.
Potensi-potensi inilah menjadi alasan sahabat-sahabat sepanggung pentas di Jogyakarta mendorongnya untuk kuliah. Namun kandas juga. Kecerdasan otaknya tidak menjadi jaminan bisa kuliah hingga tuntas. Kekurangan dana plus minimnya kiriman orang tua menjadi alasan Mus Wanggut hengkang dari Gajah Mada.
Mus Wanggut kembali berkutat dengan aktivitas panggung dan mulai mengenal dunia LSM. Ketajakan analisis dana agitasi kuat menjadi modalnya. Mus Wanggut terus berkibar. Berkutat dengan dunia LSM yang asyik dan menyenangkan itu.
Tak Gentar
Jelajah Bapak Mus Wanggut sebagai aktivis dan pejuang LSM cukup panjang dan mendebarkan. Meski sempat menjadi guru, tetapi panggilan dunia LSM lebih kuat. Lebih mengalirkan jiwa pemberontaknya memihak kaum tertindas. Kaum kecil yang terpinggirkan. Hingga napas tiba di ujung bataspun, Bapak Wanggut, dikenal sebagai pegiat dan pejuang kemanusiaan.
Kamus hidupnya tak kenal mundur jika kehendak rakyat banyak yang diperjuangkannya itu belum terjawab. Mus Wanggut bertarung habis-habisan. Jika sahabat-sahabatnya mundur lantar dijinakkan penguasa, Mus Wanggut, malah lebih ganas dan tak gentar. Tetap bersuara lantang seorang diri. Baginya kebenaran harus ditegakkan dan keadilan harus dinyatakan. Inilah spirit yang selalu diusungnya.
Pernah di Ruteng, di masa pemerintahan Bupati Manggarai, Drs. Anthony Bagul Dagur, Mus Wanggut, berorasi seorang diri. Tanpa henti selama sepekan. Bermodalkan pengeras suara yang ia gantung pada bahu kanan dan mik suara di tangan kirinya, Mus Wanggut, lantang bersuara terus. Mengungkap borok-borok nana yang menyiksa rakyat banyak.
Dan ketika Mus Wanggut tampil ke mimbar orasi tidak sekadar bicara. Data dan analisis serta solusi alternatif selalu ditawarkannya. Apa yang disampaikannya selalu bersenyawa dalam tindakan.
Pesona dirinya menampilkan nilai dan spirit. Keberpihakkan pada substansi perjuangannya, tak bakal ditinggalkan meski godaan selalu datang beriringan. Mus Wanggut adalah tokoh pejuang kemanusiaan berhati emas. Nilai-nilai kemanusiaan dan manusiawinya bertindihtepat dengan segala misi perjuangannya.
Definisi atas perjuangan itu, selalu Mus Wanggut tegakkan. Misinya mengutamakan kemanuisaan manusiawi. Humanis yang humanitas.
Kematian Jadi Akrab
Sabtu (26/2/2022) persis raganya sudah terbatas. Taring perjuangan mulai susut akibat kikisan usia, Bapak Mus Wanggut, lelap dalam tidur panjang. Terbaring di atas kanvas tanah.
Bapak Mus Wanggut, lelap tidur panjangmu tak terusik. Tanah memelukmu erat-erat. Perlahan pula ragamu terkelupas lalu menyatu. Bersenyawa dengan tanah. Untuk kepergianmu yang membuat kami menanak luka menganga, doa beriring.
Kalau saja kematian bisa dijinakkan, ingin rasanya kami memanggilmu pulang. Sekadar sua dalam sapaan jenaka. Untuk merawat lembar kebersamaan yang kita ciptakan. Untuk menjahit sisa-sisa mimpi yang belum jadi nyata.
Tetapi harimu adalah catatan abadi dalam keabadian. Pulangmu adalah kisah menyisahkan siksa. Dan kematianmu adalah tangisan panjang. Kami sahabat dan orang-orang dekatmu tak kuasa menahan. Meski ingin selalu menyiksa. Hendak selalu berdebar. Dalam helaan napas yang singkat ragamu beku bersama onggokan tanah asalmu.
Bapak Mus Wanggut, seperti hari-hari yang lewat. Sebelum ajal merapat dan kematian menjemput, segumpal ucap selalu menguap. Selaksa harap selalu mendarat dalam kata. Dan di sini dalam bening yang tercabut kami pasrah. Seraya mendoakanmu agar Sang pemberi hidup tidak keliru mencidukmu. Dia mencabutmu dari kehidupan dan mengiringmu dalam keabadian surga.
Keluarga, sahabat, dan kenalanmu, mendoakanmu Bapak Mus Wanggut. Mekas orang baik. Orang bijak. Sosok terpuji yang selalu ada memperjuangkan kepentingan sesama. Pribadi ulet yang mengalirkan kebijakan dan kearifan budi. Dikau kami kenang sepanjang napas masih bisa kami hirup.
Sekian banyak noktha baikmu. Selaksa amal yang sudah engkau jajakkan menjadi bukti nyata ibadahmu. Meski terlampau kecil, tetapi lahir dari kedalaman dan penghayatan hidup bersesama. Dan itu semua menjadi butir-butir syahadat yang selalu terawat baik selama ada di mimbar perjuangan maupun ketika hari-harimu berada dalam belitan penyakit.
Bapak Mus Wanggut, dikau menorehkan selarik harap yang membuat usaha sesama menjadi bernyawa. Mekas menghunjukkan pertunjukan untuk umum tanpa harus mendamba imbalan sepadan. Karena mekas selalu beraras dalam kesadaran bersesama dan bermasyarakat.
Meski bukanlah sikap terpuji saya narasikan dalam kata, tetapi budi baikmu untuk sesama menjadi bagian perwujudan umat Allah yang paham akan adanya untuk ada-ada yang lain.
Hari-harimu adalah ziarah makna untuk tanah asal Manggarai. Meski adamu mengusik kemapanan penguasa dan orang cerdik pandai. Tetapi, hadirmu adalah tarian pengabdian. Semuanya itu dirasakan dan dialami. Cerita sejarah amalmu selalu diwartakaan.
Di atas semuanya. Meski panggilmu teramat cepat. Mungkin Tuhan punya proyek demonstrasi besar-besaran yang mendambakan penanggung jawab lapangan. Tuhan punya cara untuk mengatakanNya. Dan di titik ini tak satu manusia jua yang bisa melunakkannya. Karena memang oleh Dia. Dalam DIA dan karena DIA kami ikhlas.
Bapak Mus Wanggut, pulangmu adalah luka. Cintamu adalah syair-syair sejarah yang kami rayakan dalam kata. Abdimu adalah bait-bait doa dalam kidung penuh rindu. Karena pesanmu selalu melekat pada jejak-jejak yang membekas. Selamat memasuki Yerusalem Abadi Bapak Mus Wanggut. Jika kelak demo bersama, Kita bisa nikmati lagi Rokok Gudang Garam Kretek, seleramu. Amin. (*)
