Oleh Kanis Lina Bana*
Ada rasa kecewa. Panik. Segumpal harap yang pernah pupuk redup tak berbekas. Apakah mimpi manis yang pernah rakit bersama harus pupus di tengah lelapnya perjuangan? Haruskah mundur karena terlanjur sanjung? Oh…politik, dunia yang satu ini terlalu mesra. Mari kita bermesra-mesraan sesuai kelenjar ingin kita masing-masing.
Tetapi bermesraan berlebihan hingga bermimpi melampaui langit ketujuh bisa kebablasan bro. Butuh kearifan budi, bahwa jika ingin menang belajar kalah dulu!.
“Ah.. ini skepsti ?” Atau nada pasrah, galau di tengah riuhnya perjuangan. “Jangan mengharapkan kemenangan jika belum pernah belajar kalah”.
Semua ada masanya. Tak perlu seloroh berlebihan. Sehingga dengan gamang mengklaim,” pengkhianat!”. Kita sama-sama pemain. Ada alasan yang mengharuskan kita bermain. Dan kiblat juang menentukan apakah bakal bersorak gembira merayakan kemenangan atau meremas duka di tengah pusaran kecewa-kalah?
Menang dan kalah adalah dua sisi kenyataan yang mengharuskan kita belajar. Sebab kemenangan terbesar bukan karena kita berhasil mengalahkan yang lain, melainkan kita beruntung karena kita lebih unggul.
Nah di titik ini kita mesti berbesar hati, melapangkan dada seraya menyatakan dengan tulus. Bahwa kemenangan yang dicapai adalah perjuangan sesama yang hasilnya tidak lebih unggul dari apa yang kita capai. Di sanalah obyektivitas kita kian hidup, kejernihan dan keadilan tetap mekar terpelihara.Jika tidak, sejujurnya, mata kita ini rabun, baik mata budaya, apalagi mata politik. Jangan..ah!”
Kekalahan memang menyakitkan, aib dan merubah salera seseorang. Tetapi kekalahan harus juga diamini sebagai kemenangan. Karena spirit yang dibangun untuk meraih kemenangan adalah kerja sama dari yang lain yang menderita kekalahan itu. Dan karenanya kekalahan yang lain juga harus dianggap kemenangan.
Karena itu kita, hendaknya, selalu kembali pulang, melihat dan menyadari sulaman juang yang pernah kita pahatkan. Bukan sebaliknya bergamang seraya melupakan segalanya karena sudah berhasil menaklukkan yang lain. Ini penting.
Namun tidak semua orang bisa sampai pada kesadaran itu. Yang terjadi, malah tetap terpagut dalam egonya , berkanjang dalam capaian, mengabaikan hakekat juang yang pernah simpulkan bersama di atas wadas kesadaran nurani sebenarnya.
Benarlah awasan bernas berisi, Putu Wijaya, dalam bukunya bertajuk Bor. Salah satu artikelnya menulis demikian, “ Kemenangan menjadi mulia karena dimuliakan oleh yang kalah. Yang menang harus memuliakan yang kalah”
Persis roh inilah yang pernah disatueratkan. Karena roh itu menjadi kesadaran moral bersama. Tetapi pada kenyataannya mengamini pepatah yang satu ini. “Kacang tidak hanya lupa pada kulitnya, tetapi malah lebih dari itu, kacang lupa pada tanah yang menghidupkannya!” Jangan seperti itulah.
Apesnya lagi dan terkikis tipis. Mereka yang berhak untuk mengingatkannya, hanya sebatas lelehan busa. Terlalu terlena bermanja-manjaan. Semoga masa pra-Paskah ini kita menarik diri. Bersimpuh di bawa kaki kemuliaan-Nya seraya berikrar, “Stop tipu-tipu” Karena dusta politik itu menyakitkan! Karena berdusta itu sebenarnya kita menyemaikan kehancuran. (*)
Penulis jurnalis dan gelandangan politik lokal.
