google.com, pub-6484823448236339, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Putri Kecil Meluluhkan Hati

Oleh Marsela Sinar Kelas:XI IPA 2 SMAN 1 Poco Ranaka-Mano

“Hore,.. Mayra punya dua ayah!” Gadis kecil yang duduk di pangkuanku ini bersorak bahagia setelah mendengar pernyataan mamanya yang akan menikah denganku.

Aku Arhan, seorang bujang berusia 30 tahun. Pilihanku ingin menikahi Mia seorang single parent ternyata diindahkannya. Mia menerimaku tepat setelah tiga bulan aku mengenalnya.

Mia sangat cantik. Meski sudah memiliki seorang  orang anak yang saat ini berusia tiga tahun, namun  wajah maupun tubuhnya tetap terawat. Entah apa yang membuat suami Mia berselingkuh dan menceraikannya? Aku menilai  mantan suami Mia tak pandai bersyukur. 

Papa, nanti tinggal di sini, “kan?” tanya Mayra dengan wajah polosnya. Aku dan Mia sama-sama mengerutkan dahi, mencerna maksud dari panggilan Mayra terhadapku  

“Papa kedua? Maksudnya gimana, Nak?” kali ini Mia bertanya pada putrinya itu. 

“Papa Arhan itu, papa kedua, nah, papa yang pergi itu papa pertama, hehehe.” Mayra tertawa lucu sembari tangan kanannya memainkan kancing kemejaku. 

Hari pernikahanku dan Mia digelar. Wanita yang sudah sah jadi istriku ini sangat cantik dengan balutan gaun putih khas pengantin western, tapi tetap tertutup dengan tambahan kerudung.

Namun, di hari bahagia kami ini, di mana seharusnya kedua mempelai duduk manis di atas pelaminan harus sedikit terganggu. Beberapa kali Mayra rewel dan minta digendong terus oleh Mia. Sungguh aku risih. 

Jujur saja, menikahi Mia itu hanya karena aku mencintai Mia. Tidak Mayra! Hanya Mia saja. Ya karena status Mia yang sudah memiliki anak, mau tidak mau aku harus menerima putrinya juga.

Awal-awal kukenal Mia, aku selalu mencurahkan perhatian kepada putrinya-Mayra. Itu semua aku lakukan agar Mia luluh padaku. Setiap berkunjung ke rumahnya aku tak pernah lupa untuk membawakan Mayra buah tangan, baik itu camilan maupun boneka. Jelas saja anak itu sangat senang. 

Malam pertamaku dan Mia juga terganggu. Sebab setelah acara resepsi pernikahan, Mayra tiba-tiba demam tinggi. Jadilah aku dan istriku harus bermalam di rumah sakit untuk menjaganya. 

“Maaf, ya, Mas. Malam ini–” Mia tertunduk dan tidak mampu melanjutkan ucapannya. Aku menghela napas, mengangkat dagunya pelan. “Sudahlah, tidak apa-apa, Mi. Yang penting sekarang kita menjaga Mayra,” ucapku pelan. 

***

Hari berganti hari, hingga tak terasa sudah satu tahun aku menikah dengan Mia. Hari-hariku dengan Mia juga Mayra berjalan seperti biasa. Sekarang Mayra sudah berusia 4 tahun, dan Mia juga tengah mengandung buah cinta kami. Lima bulan usia kandungannya sekarang, jelas saja aku, sangat bahagia.

“Adek, nanti main sama kakak, ya,” ucap Mayra setiap kali mengelus perut mamanya. 

Aku tersenyum sekaligus tersentuh melihat sikap Mayra yang begitu lucu, pintar dan juga penyayang.  Entah sejak kapan mulanya, aku selalu memikirkan Mayra.

Setelah setahun menikah aku akhirnya naik jabatan di pertambangan batu bara tempatku bekerja, sehingga aku harus keluar kota untuk beberapa urusan.

Entah kali keberapa aku pergi, tiba-tiba aku merindukan Mayra. Ada rasa menggebu-gebunya ingin cepat pulang. Biasanya aku hanya membelikan Mia oleh-oleh apapun dari daerah yang aku datangi, kali ini aku membeli begitu banyak mainan untuk putri kecilku-Mayra. Tidak tanggung-tanggung, aku harus membeli satu koper baru hanya untuk membawa mainan itu. 

Di pesawat, aku tersenyum sendiri membayangkan wajah gadis kecil itu. Pasti dia akan senang sekali.  May, Papa pulang. Kata-kata itu setiap saat terucap dari dalam hati.

“May, Mayra!” Tanpa salam aku langsung membuka pintu, berharap langsung menemui Mayra dan tidak sabar ingin melihat wajah bahagianya. 

“Loh, Mas, kok nggak ucap salam dulu?” Istriku terheran-heran melihat suaminya ini tiba-tiba sudah di ruang tamu.

“Mayra di mana?” tanyaku. “Mayra lagi tidur siang, Mas.” Jawab istriku sembari mengambil alih koper yang kubawa. 

“Kok, kopernya berubah warna, Mas?” Mia heran melihat koper yang kubawa tak lagi berwarna hitam, melainkan warna biru. 

“Ini baru beli. Koper bajuku masih di depan pintu,” Jawabku santai. “Papa ….” Mayra berlari dan menghambur di pelukanku. 

“Anak papa, kangen banget papa sama kamu, Nak.” Semakin erat aku memeluk gadis kecilku ini.

“Tebak, papa bawa apa?” aku melepaskan pelukanku, dan mengambil koper yang sedari tadi dipegang  istriku. 

“Emmm,  oleh-oleh buat mama? Atau makanan khas? Oh atau mainan untuk adek bayi yang di perut Mama?” Mayra menebak-nebak. 

Selama ini Mayra sangat hafal apa saja yang selalu kubawa. Dan, memang tak pernah aku membawa apapun untuknya. Terbersit rasa bersalah di hatiku saat ini. 

“Semuanya salah, Papa bawa ini buat, Mayra ….”. “Hah!” Mayra dan Mia sama-sama terkejut dengan ekspresi mulut yang menganga.

“Yeeeyyy! papa, terima kasih.” Mayra melompat kesenangan, langsung kugendong tubuh kecilnya. Kami berputar-putar dengan gerakan dansa. Anak ini sangat senang.

Setelah memberikan Mayra mainan yang banyak, aku dan Mia membiarkannya asyik membuka macam-macam mainan yang ada di dalam koper. Hingga dia dengan asyiknya berbicara sendiri dengan beberapa boneka barbie di dalam sana.

“Mas, tumben kamu beliin May mainan sebanyak itu?” Mia yang masih keheranan akhirnya bertanya.  Aku hanya meresponnya dengan senyuman. 

“Ini, peganglah!” Aku menyerahkan buku tabungan yang baru kubuat untuk Mia. Namun, lagi-lagi Mia terheran-heran. 

“Buku tabungan? Buku tabungan yang mana lagi ini, Mas?” Mia mengernyitkan dahinya. 

“Pegang itu, Mi. Tabungan itu kusiapkan untuk anak kita.” “Anak kita?” Mia keheranan sambil menunjuk perutnya sendiri. “Belum juga lahir, mas,” ucapnya lagi. 

“Maksudku, tabungan itu untuk persiapan pendidikan anak kita, Mayra. Anak itu akan tumbuh dewasa, tentu akan sekolah. Tidak ada salahnya kita memikirkan segalanya dari sekarang. Nanti, terserah dia mau sekolah atau kuliah di mana. Bahkan jika suatu saat nanti dia ingin kuliah di luar negeri juga boleh. Aku akan membiayainya semampuku.”

“Mas, kamu serius?” lirih suara Mia ketika bertanya. Air mata di wajahnya pun mengalir begitu deras. 

“Entah bagaimana aku harus berterima kasih, Mas. Terima kasih sudah menjadi Papa yang baik untuk  anakku.” 

“Anak-ku? Dia anak kita, Mi.” Aku membenarkan ucapan Mia.

Dua puluh tahun sudah berlalu, putri kecil kami Mayra sudah dewasa. Sekarang dia sudah lulus dan menjadi seorang sarjana di salah satu kampus di Jerman.

Putri kecil kesayanganku ini benar-benar membuktikan janjinya padaku dan mamanya, bahwa dia akan membuat kami bangga dan akan selalu menjadi yang terbaik.

Hingga kata-katanya yang dulu selalu menyebutku papa kedua kini berubah. 

“Hai,  Papa … listen to me! (Papa, dengarkan aku!)” dari atas podium dia melambaikan tangan padaku dengan wajah cerianya. 

Aku  yang duduk bersama Mia di kursi barisan paling depan tersenyum dan membalas lambaiannya. Sontak saja kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang menghadiri acara wisuda tersebut. 

“You’re not my second Papa. But you’re my first Papa. Now and forever. I love you, and thank you, cause always be the best hero (Kamu bukan papa keduaku, tapi kamu adalah papa pertamaku. Sekarang dan selamanya. Aku menyayangimu, terima kasih karena selalu menjadi pahlawan terbaik).”

Terima kasih juga Mayra, kau telah mengajarkanku menjadi Papa yang sebenarnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: