Selamat Jalan Ibu Wis Leko

Ibu Wis Leko/foto ist

Oleh  Kanis Lina Bana*

Selamat jalan guruku, Ibu Wis Leko. Meski gelayut tanya membuncah. Sebab kepergianmu terlalu cepat.  Masih belum seberapa telapak hidupnya di buana raya ini. Tetapi itulah misteri kehidupan manusia. Tak satu pun makhluk penghuni kolong langit  ini bisa menahannya,  ketika sang pemilik hidup  menghendakinya. “Beristirahatlah guruku. Doa kami mengalir dengan sesak mengiringi kepergianmu!.

Saya mengenal Ibu Wis Leko ketika kelas II SDK Waelengga. Sebelumnya saya tidak pernah lihat. Meski saya sering berkunjung ke rumah dinas Mantri Yan No dalam urusan suntik. Sebab saya termasuk pasien tetapnya. Maklum saya sering sakit. Penyakit Malaria jadi langganan. Sekali kena suntikan Mantri Yan No pasti sembuh. Dan biasanya ketika sakit, hanya satu pilihan, suntik. Dan itu dilayani Bapak Mantir Yan No atau Mama Yan No.

Di rumah Bapak Yan No saya tidak pernah lihat Ibu Wis Leko. Yang saya lihat hanya Hardi Leko dan Joni Leko yang kala itu sudah SMP. Sin Leko, teman kelas saya. Juga Peri Leko dan Tono Leko yang masih kecil-kecil.

Di halaman SDK Waelengga, untuk pertama kalinya saya melihat pesona Ibu Wis Leko. Hari itu masih pagi.  Pancaran emas matahari kekuning-kuningan masih jelas. Saat itulah di sela amanat upacara bendera, Kepala Sekolah SDK Waelengga, Bapak Thomas Bombang perkenalkan kepada kami sosok seorang ibu guru muda. Namanya Wis Leko. Anak Mantri Yan No. Anak Kota Waelengga.

Wajahnya cantik. Tinggi semampai. Kulit hitam manis. Bersih. Rambut lurus sebahu. Postur tubuhnya ideal. Pesonanya menarik. Aura cantik melingkar seluruh dirinya. Kami yang masih bau kencur hanya manggut-manggut. Seraya menggugat tanya, “Apakah ibu guru muda ini kejam?” Maklum untuk ukuran guru zaman itu segan dan takut seperti ajaran “dogma” Tetapi saya merasa beruntung mendapat pelajaran dengan cara itu. keras tapi menyelamatkan.

Selepas upcara bendera, ibu muda ini langsung lebur bersama kelas kami. Kami, rombongan satu kelas jadi target binaanya. Anggota kelas kami rumpu-rampe. Ada anak Sabu, anak Kampung Ende, anak Waelengga, anak Kajukaro, Padha Rambu, Marokima, Sambi Koe dan anak kota seputar bilangan Kantor Perwakilan Kecamatan Borong di Waelengga. Jumlah kami ideal untuk rombongan satu kelas.

Ibu Wis Leko bertugas membimbing kami. Di bawah rindangan pohon asam. Maklum ruang kelas kami sedang  digunakan siswa-siswi SMPK Wae Mokel angkatan perdana. Sementara  kami  jam-jam pertama pembelajaran berlangsung di bawah naungan pohon asam. Dan Ibu Wis yang masih muda batang-batang itu mengawasi kami. Termasuk saat kami ditugaskan angkut air, angkut batu atau pasir untuk pembangunan Gereja Waelengga.

Selain Ibu Wis Leko, ada beberapa orang guru selalu menemani kami. Di antaranya Bapak Markus Maru, Yan Anggal dan Thomas Juma. Mereka  bergantian  mendampingi kami. Macam-macam kegiatan keterampilan diajarkan Ibu Wis Leko.

Dan, setelah kelas satu pulang sekolah, kami mulai masuk kelas. Proses belajar mengajar mulai berlangsung. Guru Thomas Bombang mengajar kami membaca, menulis indah dan matematika. Guru yang satu ini terkenal dengan lalong rebhonya. Yang belum lancar baca siap-siap tada punggung, pantat atau betis. Kebas tiada ampun. Pokoknya  salah sedikit bantang lalong rebho mendarat. Proses belajar mengajar waktu itu, memang keras. Tetapi kami menikmatinya.  

Jika jam istirahat tiba, kami main bola ikat. Saat itu dikenal bola “sowo jawa. Pertandingan Folo vs Rongga jadi kompetisi wajib tiap hari. Hasilnya, pasukan Rongga selalu menderita kalah. Meski demikian tetapi hampir tiap hari pertandingan jalan terus. Bola ikat racikan Rofinus Liu atau Hironimus Tarung jadi andalan. Hasil anyaman keduanya rapi, kencang bahkan lenting seperti bola kulit sapi kering.

Ketika pertandingan berlangsung Tim Rongga  harus bergabung dengan teman-teman asal Waelengga. Juga beberapa teman asal Sabu-sebelah Sungai Wae Mokel. Melkior Dedo kdang gabung bersama kami. kadang juga memihak tim Folo. Pasukan kami berkekuatan penuh itu, tak sanggup melindas Kanis Nggajing, Cs.  Belum lagi, Benyamin Sambi dengan sapuan kakinya. Meski sesekali Ahmad Jaleng menahannya, tapi tak sanggup menjinakkan liukan Kanis Nggajing yang lagi top-topnya.

 Pasukan Foto-Sambikoe semakin komplit berkat  dukungan anak Kompleks Camat Waelengga. Iren Tersa  bergaung bersama tim Sambikoe. Lazarus Juma yang jago jaga belakang kandas juga.Tim Folo asal Sambikoe itu selalu unggul. Dan bila berhasil jebol gawang kami selalu disertai olok-olokkan  “Ata Rongga  “ndate wae kima”.  Kami membalasnya, “Ata Folo ka nake teu. Dan biasanya kata-kata balasan itu hanya Man Jaleng dan Lazarus Juma yang berani ucap lurus. Kami yang lain masih enggan. Hanya bisik-bisik di antara kami saja.

Tampilan bahasa kami amat jenaka. Kadang mengiris, tetapi tak ada kamus  tersinggung apalagi hingga berseteru. Dunia bermain saat itu menjadi hiburan yang menyenangkan. Bola jadi media kami berjumpa.

Yang harus diakui selain jago main bola, otak anak-anak Sambikoe rata-rata lebih dari cukup. Anak pintarlah. Matematika itu jagonya Rofinus Liu, Nimus Tarung, sedikit Yoseph Undung. Kanis Nggajing sapu semua. Baca oke, matematika juga ok. Yang bisa bersaing hanya Agatha Sawe. Kami yang lain pas-pas saja. Sekadar luput hantaman lalong rebho-nya Thomas Bombang.

Pertandingan seru di halaman sekolah itu jadi tontonan menarik. Beberapa bapak guru menyaksikan dengan senang. Sedang Ibu Wis Leko mengamati jika perseteruan sudah melampaui batas. Biasanya yang bikin geger pertandingan akibat ulah Hendrikus Kelen, Man Jaleng, Daniel Meak. Sesekali Melkior Dedo atau Benyamin Sambi.  Sedangkan Yoseph Undung yang kecil mungil dari Sambikoe itu jarang ditampilkan. Tugasnya pilih bola ketika tendangan Man Jaleng melampaui garis batas gawang.

Sementara Gili Lodho-anak sebelah kali yang selalu bawa bekal “tai minyak” itu tidak bersikap. Meski bergabung bersama kami, cenderung menghindar. Hanya jago main karet atau kalereng.

Ketika haus kami berlari menuju Sungai Wae Mokel. Dan biasanya Ibu Wis Leko, guru kami ini selalu mengingatkan agar hindari konsumsi air mentah. Maklum anak seorang mantri dan ibu mantri, aspek higienes jadi perhatiannya.

Tapi mau bagaimana, pilihan lain tidak ada. Tetapi ibu Wis Leko tetap mengingatkan. Dia mengajar kami keterampilan. Kadang guru Yan Anggal gara-gara mendekati Ibu Wis. Kami tidak paham apa bahasa hatinya. Mereka dekat, tetapi anak  seorang Mantri Yan No jadi garansi sulit didekati.

Lima tahun kami bersama. Saat kami testing Seminari Kisol, Ibu Wis Leko ditugaskan hantar kami. Ibu muda nan cantik jelita ini hantar kami nginap di rumah Bapak Markus Durbin. Hampir sepekan kami ada di Kisol. Materi testing masuk cukup berat bagi kami. Maklum soal-soal yang ada belum diajarkan di sekolah. Kami berlima dari SDK Waelengga. Benyamin Sambi, Kanis Lina Bana, Thomas Alfa Edison, Evensius Jandri Anggal dan Karolus Sabu.

Hasil testing cukup memrihatinkan. Hanya Even Anggal dan Karolus Sabu yang beruntung. Keduanya lulus. Namun dua sahabat erat kami ini hanya bertahan setengah tahun. Tersungkur pada ujian fase pertama.

Sementara kami bertiga pulang dengan tangan hampa. Meski ketiban tak beruntung, kami dapat pengetahuan baru. Untuk pertama kalinya kami melihat benda lonjong dan bulat terlur itu bercahaya. Kami baru lihat lampu listrik, di Seminari Kisol. Kami bertiga terpaksa  bersama lagi, ketika melanjutkan pendidikan ke SMPK Wae Mokel. Di sanalah kami berjumpa dengan Guru Yoseh Sole yang kemudian menikah dengan Ibu Wis Leko.

Beberapa hari lalu, saat sedang edit naskah, Buku Menemukan Bejana Indah, Jejak Sejarah Paroki Waelengga, saya menghubungi saudaraku, Peri Leko. Tujuannya minta nomor kontak Ibu Wis Leko. Nomor itu saya butuhkan untuk kepentingan foto Alm. Yoseph Sole. Sebab dalam jejak Paroki Waelengga, mantan Kepsek SMPK Wae Mokel ini pernah mendapat kepercayaan sebagai Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP) Waelengga. Di saat itulah saya mendapat kabar, jika Ibu Wis Leko sedang sakit. Sedang dalam perawatan intensif di RSUD Ben Mboi Ruteng.Tak lama berselang, Peri Leko mengirim foto yang saya butuhkan itu. Juga beberapa foto lain pendukung tulisan yang sedang saya garap.

Malam ini, 24/6/2022. Pukul 19.15 Wita. Ketika jari  sedang menari di tuts-tuts layar laptop, dua pesan masuk HP saya. Satunya dari Kanis Nggajing-Ketua DPP Waelengga. Isinya sebuah foto, Ibu Wis Leko. Tanpa keterangan gambar itu. Pesan yang satunya lagi dari Hilarius Petrus Leko, saudara bungsu Ibu Wis Leko. Isi pesannya telanjang, ”Ibu Wis Leko telah berpulang!

Saya menyatakan belasungkawa mendalam. Tulisan pendek ini jadi sebait ungkapan duka mendalamku. Guruku..beristirahatlah dalam damai. Dikau tak bergulat lagi dengan derita fisik. Kedamaian melingkar dalam tidur panjangmu nan nyenyak. Selamat memasuki dunia keabadian ibu guruku. (*)

Penulis alumnus SDK Waelengga tahun 1983

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!