Seni “Menggairahkan” Rasa

Oleh Kanis Lina Bana*

Seni “menggairahkan” rasa. Mungkin berlebihan. Terlalu sensual. Bikin emosi turun naik. Terutama diksi “menggairahkan” itu.  Bikin pikiran pembaca “traveling”  ke mana-mana. He.he..maaf  para pembaca budiman. Ini bukan sekadar judul-judulan. Sejujurnya  saya tulis saja apa yang menyeruak dari bilik hati. Sekali lagi maaf berlipat-lipat.

Sesungguhnya judul ini bereratrapat dengan salah satu materi lomba storytelling  Expo Pendidikan, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Manggarai Timur beberapa waktu lalu. Sudah dua kesempatan PPO Matim  menyelenggarakan kegiatan berkelas tersebut. Kepada saya dipercaya jadi juri sejak kegiatan itu berlangsung.

Endapan pengalaman tersebut membangkitkan naluri jurnalistik saya untuk “menarisikan” sejengkal pengetahuan tentang storytelling. Bukan sock tahu segala. Apalagi berlagak menggurui. Tapi lebih sebentuk panggilan nurani  untuk berbagi praktek baik dan pengetahuan yang mungkin bisa ada guna gananya.

Tapi sebelumnya,  seutas terima kasih selayaknya saya daraskan untuk  Dinas PPO Matim yang telah menetapkan storytelling sebagai salah satu materi lomba. Sebab materi lomba tersebut melecutkan kembali pengalaman masa kecil. Saat mendengar kisah nenek merengkuk  kantuk hingga lelap.

Juga kepada  semua peserta lomba storytelling. Bagi saya, semua mereka   telah berhasil tampil sebagai sosok pencerita yang baik. Pencerita yang sanggup menggoda pendengar menjejaki alur demi alur kisah yang dituturkan. Bahwa ada kompetisi dari kegiatan tersebut,..ya.  Tapi , hemat saya, semua peserta adalah  pemenangnya. Yang juara, itu bonusnya.

Sebab yang ingin ditularkan lomba storytelling adalah  menukar energi positip untuk kemajuan pendidikan kita di Manggarai Timur. Untuk segala sesuatu yang  baik itu, mari kita  kobarkan terus menerus. Jika tidak, semua akan berlalu bagai hembusan angin; datang dan pergi. Kata orang pandai, “ Segala sesuatu yang indah  mudah diperoleh, tetapi sulit dipertahakan!” Tugas kita rawat bersama agar yang baik dan indah itu tetap menjadi milik kita.

  • Storytelling

Cukup banyak para ahli dan orang pintar mendefinisikan  storytelling.  Tapi sebenarnya,  jauh sebelum itu,  sudah amat  popular sejak nabi dan sufi menggunakan cerita sebagai metode menyampaikan pesan atau kebenaran.

Sebab cerita merupakan metode paling ampuh menularkan sesuatu yang positip,baik, indah, mengagumkan, dan menggairahkan. Juga menuntun orang untuk bertobat. Menyadari kilaf dan mulai insaf. Ceritera dengan demikian menjadi media  berdaya efek  untuk pengetahuan dan pendidikan.

Itu sebabnya, metode ini terus dipertahankan para filsuf dan ilmuwan. Nenek atau kakek kita sangat kuat dengan bahasa tutur. Di masa kecil-bagi yang mengalaminya, nenek atau kakek  sering meninabobohkan kita dengan cara  cerita. Cerita macam-macam. Isi pesan cerita itu membekas. Sehingga kita sanggup menarasikan ulang dengan entengnya. Jadi metode cerita sangat kuat, efekif memengaruhi nalar kita.

Storytelling  berasal dari Bahasa Inggris. Terdiri dari dua kata, yaitu story yang artinya ceritera dan telling artinya pencerita-an. Storytelling berarti kegiatan menyampaikan cerita. Orang yang ber-storytelling disebut storyteller.

 Terlepas dari arti kata  storytelling  itu sendiri, yang perlu kita resap makna adalah daya imbas dan manfaat bagi anak didik kita.  Dalam konteks itu storytelling, sesungguhnya  “menghidupkan” kembali metode pendidikan masa lalu yang sering dijalankan lelulur kita. Mereka tidak mengerti seluk beluknya. Bagi  mereka cerita mendekatkan yang jauh, mengakrabkan yang dekat. Mengajarkan kebajikan hidup. Mempertajam kepekaan. Mengartikulasikan kehidupan dalam segala aneka pengalaman. Dengan itu membawa makna bagi anak-anak.

***

Menoleh kembali ajang kompetisi storytelling tingkat SD dan SMP di tengah gebyar Expo Pendidikan Manggarai Timur,  harus diakui, sangat kuat daya ingat dan kepiawaian peserta menceritakan kisah yang dituturkan. Mereka tampil prima. Setidaknya apa yang digambarkan Ignas Kleden kemampuan apropriasinya sungguh diperlihatkan para peserta.

Apropriasi dalam bertutur  sebenarnya  kesanggupan untuk menerjemahkan yang luar menjadi dalam. Yang eksterioritas menjadi interioritas. Yang sosial menjadi personal. Yang lain menjadi bagian dari dirinya dan yang asing menjadi intim. Daya ini, setidaknya, telah diperlihat peserta, meski di sana-sini butuh sentuhan pendamping agar kemudian jiwa mereka  melebur dalam kisah yang dituturkan sehingga  gairah rasa pendengar sungguh diaduk-aduk. Emosi turun naik digairahkan dan pesan kesampaian. Dengan itu,  bertutur boleh disimpulkan sebagai seni menggairahkan rasa.

  • Satu-Dua Catatan

 Pada ruang ini  saya ingin tambah sedikit  beberapa poin praktis  terkait storytelling. Pertama alur kisah  yang dituturkan.  Yang perlu diperhatikan  adalah dinamika kisah. Termasuk di dalamnya gaya bertutur, intonasi, warna suara, gesthur, mimik wajah, komunikatif-kontak dengan pendengar . Selain itu rima dan manuver  antara peran protagonis dan antagonis. Hal lain yang turut memperkaya dan merangsang pendengar adalah ornamen pendukung kisah.

 Kedua, daya improvisasi di mana seorang storyteller harus sanggup memainkan karakater masing-masing pelaku terkait kisah yang dituturkan.  Warna suara, menjadi ciri dasarnya. Di sini butuh latihan  serius terutama memindahkan karakkater storyteller terhadap  karakter pelaku-pelakunya. Pendek kata  seorang storyteller memainkan beberapa karakter pelaku terkait kisah yang dituturkan. Atau dialog oleh satu orang dalam peran berbeda-beda. Di sini kemampun apropriasi sangat penting.

Ketiga, narator. Peran  narator dimainkan si penutur itu sendiri. Intonasi, modulasi dan warna suara narator harus diperhatikan secara baik agar rima dari babak yang satu ke babak yang lainnya tidak berubah.

Itu sebabnya  lomba bertutur termasuk jenis kompetisi yang memiliki karakter kesulitan  lebih tinggi. Sebab selain kemapuan apropriasinya nilai positip dari bertutur dapat meningkatkan kepercayaan diri peserta. Menggelorakan rasa senang. Memperkaya  kosa kata, menambah wawasan, meningkatkan konsentrasi. Lebih dari itu lomba bertutur menularkan  nilai-nilai moral. Merangsang minat baca. Memperkaya inovasi dan kreativitas. Perkaya kemampuan  berbahasa.

Karena itu  Expo Pendidikan Manggarai Timur yang dirancang Vinsen Tala, Bruno Ismail, Gusti Rahmanto, Ito Ling dkk di Dinas PPO Matim telah menghadirkan  dinamika pendidikan yang mendidik. Bukan soal  juara yang diraih melainkan tentang kecakapan peserta lomba tutur memainkan peran bercerita yang menceriterakan.  (*)

Penulis seorang jurnalis, Pemimpin Umum Denore.id. Menulis 14 buku.                                                                        Caleg Perindo No. 1 Dapil Kota Komba& Kota Komba Utara

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: