SMPN Satap Munde: Selamatkan Bumi Pertiwi dari Sampah Plastik

SMPN Satap Munde, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur Memanfaatkan Sampah Plastik Sebagai Kerajinan Tangan yang Bernilai Seni. Foto/Ist/Denore.id

BORONG, DENORE.ID-Bumi pertiwi yang bernama Indonesia begitu indah. Bentangan padang sabana, dan gugusan pulau-pulau berjejer rapih dari Sabang sampai Merauke. Laut yang luas, gunung dan alam yang megah menyimpan sejuta kekayaan hayati flora dan fauna.

Ekosistem flora dan fauna akan hidup harmonis apabila keindahan bumi pertiwi tetap dijaga, dirawat dan dilestarikan. Sayangnya, menurut data dari Asosiasi Industri Plastik (BPS), sampah plastiK di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun (https VOI Id 2022). Maka untuk mewujudkan ekosistem yang harmonis, sebagai makhluk rasional manusia mesti sadar lingkungan perlu merajut hubungan yang holistik dengan realitas sekitanrnya.

Salah satu strategi adalah selamatkan bumi pertiwi dengan mengatasi masalah sampah di sekitar kita. Mengatasi sampah plastiK dapat dilakukan secara individu, kelompok, komunitas, lembaga pemerintahan maupun lembaga pendidikan. Seperti halnya yang telah dilakukan lembaga pendidikan, sekolah penggerak SMPN Satap Munde. Selamatkan bumi pertiwi menjadi nafas civitas akademika SMPN Satap Munde yang beralamat di Munde desa Komba kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur, di bawah kepemimpinan Robertus Yani, S.Pd,. Robertus menjelaskan bahwa sekolah ini merupakan salah satu sekolah menengah pertama negeri di kecamatan Kota Komba yang masuk dalam daftar sekolah Penggerak.

Sebagai sekolah penggerak sejak tahun 2021, Robertus Yani menuturkan, kiprahnya bersama rekan guru SMPN Satap Munde terus berbenah dan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kurikulum pendidikan. Menurutnya, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan setiap pagi sedangkan untuk mengasah berbagai keterampilan peserta didik diadakan kegiatan ekstrakurikuler pada sore hari.

Sekolah ini, sejak berdiri tahun 2010 dengan nomor ijin operasional 1910-01-01 menggunakan KTSP, kemudian kurikulum 2013 dan projek profil pelajar pancasila dan ke depanya akan menerapkan kurikulum merdeka belajar. Walaupun boleh dibilang masih “seumuran jagung” SMPN Satap Munde sudah menggunakan pembelajaran daring (online) dan telah melaksanakan Ujian Sekolah Berbasis Digital (USBD). Selain itu, lanjutnya guna mendukung kegiatan belajar mengajar, Menteri Komunikasi dan Informatika RI Jhoni G. Plate melalui Badan Akselebilitas telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) mendirikan fasilitas internet super wifi di SMPN Satap Munde.

“Selain kegiatan belajar mengajar (KBM) pada pagi hari, di SMPN Satap Munde ada berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang juga ikut mendukung wawasan, daya kritis, kerja sama, rasa cinta terhadap alam, keterampilan, pendalaman iman peserta didik lewat kegiatan pramuka, dapur ilmiah, olahraga kempo, keterampilan prakarya, dan komunitas peduli sampah (RUN). Cinta akan bumi pertiwi perlu menjadi sikap kita bersama. Saya terus mendorong guru-guru membuat projek hingga menghasilkan karya.” tutur Robertus di ruang kerjanya pada Sabtu ( 28/05/22).

Hal senada, diungkapkan oleh Yohanes A. Anggal, S.Pt selaku guru yang mengampuh mata pelajaran Biologi, ia mendirikan komunitas peduli sampah plastik. Yanto, demikian sapaan akrabnya mengisahkan komunitas Peduli Sampah Plastik SMPN Satap Munde hadir sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap bumi pertiwi Indonesia. Lebih lanjut diuraikannya, lewat komunitas tersebut dirinya mengajak sesama untuk menjaga kebersihan lingkungan serta menyelamatkan generasi yang akan datang dari masalah pemanasan global.

Komunitas tersebut diberi nama RUN yang dalam bahasa lokal ( pange mbaen/kolor) artinya sampah atau kotoran sedangkan dalam bahasa Inggris artinya lari yang maknanya bagi anggota komunitas ini adalah berlari bersama waktu untuk peduli terhadap sampah plastik. Berlari sambil memilih sampah. Yanto Anggal melanjutkan RUN merupakan akronim dari Rubbish Upset Nature (sampah merusak alam). Dirinya berharap adanya dukungan pemerintah daerah terkait penyediaan tempat sampah di sekolahnya.

“saya dan teman-teman membangun komunitas sampah ini terinspirasi dari Mis Monika, seorang pelajar asal Jerman yang sedang melakukan penelitian tentang sampah di kecamatan Kota Komba dan melakukan sosialisasi di kantor desa Komba pada 11 Januari 2020. Kemudian saya meminta mis Monika untuk memberi sosialisasi sampah di SMPN Satap Munde. Sejak saat itu, komunitas sampah RUN bergerak sebagai wadah edukasi bagi peserta didik tentang pentingya merawat bumi pertiwi dengan tidak membuang sampah sembarangan.

Komunitas RUN mengumpulkan Sampah Plastik untuk di Daur Ulang. Foto/Ist/Denore.id

Selain itu, komunitas RUN menyadarkan akan masalah sampah plastik mulai dari rumah. Peserta didik ditugaskan memilih sampah plastic di rumah dan lingkungan sekitarnya. Sampah-sampah dikumpulkan dalam karung. Aktivitas lainnya dari komunitas RUN memilih sampah plastic di tempat umum, tempat mandi umum, sungai hingga di pantai. Ada banyak sampah plastik yang dapat dikumpulkan, di antaranya botol bekas, aqua gelas atau sampah minuman ale-ale. Botol-botol tersebut kemudian dipadatkan dengan sampah plastik. Botol plastik akan dibuat ekobrik dan tempat duduk, dan berbagai kerajinan tangan lainya.

Menindaklanjuti masalah sampah, Yudit Regina Anda, S.E yang juga mengajar mata pelajaran prakarya mengatakan timbul ide untuk mengolah bahan-bahan sampah menjadi hasil karya yang bermanfaat. Menurutnya, bahan sampah plastik mudah didapatkan dan juga ada di lingkungan sekolah. Langkah selanjutnya, peserta didik dibagi ke dalam kelompok, kemudian mengumpulkan bahan-bahan seperti botol plastic, aqua gelas, ale ale, daun jagung, daun lontar. Yudit mengungkapakn, motivasi awal kami agar bisa menggunakan sampah plastic menjadi produk yang berguna.

“Pada saat pelajaran prakarya, siswa-siswi dalam kelompok. Guru hanya mendampingi. Mulai kelas VII dan IX. Alat-alat yang digunakan juga mudah didapatkan seperti senar, gunting dan silet. Daun jagung dirangkai dan diberi warna sehingga menyerupai bunga dan sebagai potnya dianyam dari daun lontar. Sedangkan sampah gelas aqua atau ale-ale dibuat menjadi produk keranjang. Hasilnya, untuk ukuran siswa-siswi ya menyenangkan dan tentunya memuaskan, “ungkap Yudit.

Di akhir wawancara, Yudit berharap, dengan adanya latihan keterampilan anyaman di sekolah, peserta didik dapat memanfaatkan sampah plastik di rumah dan mengolahnya menjadi produk untuk kebutuhan mereka sendiri. Dengan demikian perhatian akan masalah sampah pelan-pelan dapat teratasi. Untuk mengatasi sampah yang paling utama adalah mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini.

Penulis : Ino Sengkang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!