Taman Sutra di Bibir Pantai Selatan Kota Komba

BORONG, DENORE,ID- Rentangan  pantai terasa menggoda. Mulai dari Watu Lamba, Mausui, Lia Laka, Ngalu Sie hingga Tannjung Bendera. Pantainya lekuk, meliuk-liuk. Tumpukan batu ukuran besar. Karang indah ditingkah jilatan lidah ombak membuat pemandangan pantai semakin  indah. Indah sekali.

                             ***

Taman sutra. Apakah berlebihan? Atau mengada-ada? Sejujurnya, itu label yang tepat. Bahasa yang pas. Narasi yang dapat mewakili garis alam. Pesona pantai di wilayah selatan, Kelurahan Watungge, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT.

Rentangan  pantai terasa menggoda. Mulai dari Watu Lamba, Mausui, Lia Laka, Ngalu Sie hingga Tanjung Bendera. Pantainya lekuk, meliuk-liuk. Tumpukan batu ukuran besar. Karang indah ditingkah jilatan lidah ombak membuat pemandangan pantai semakin  indah. Indah sekali.

Di Watu Lamba, misalnya, ada taman laut. Karang kerucut berikut jenaka aneka ikan bermain manja menyihir rasa. Kita tercengang. Betapa dahsyat alam laut  Watulamba.  Sementara laut sepanjang bilangan Mausui, Lia Laka, Ngalu Sie hingga Tanjung Bendera kaya akan aneka jenis ikan. Ikan karang sangat banyak. Gutita, lopster dan penyu berseliwerang dengan manjanya.

Setiap musim tertentu, penyu-penyu akan merapat ke darat. Bertelur. Biasanya persis purnama tiba. Ada  serupa gambar alam yang melingkar bulan penuh. Di saat itulah penyu-penyu sudah berada di darat.

Itu pemandangan pantai. Bagaimana dengan daratnya. Wow..lebih seru dan menggoda lagi. Ada padang  membentang luas. Ibarat permadani alam kita akan nikmati sejak  menapaki   rebis Woijo. Semakin akrab di lensa mata saat menjejakkan langkah di  Nunu Langgo, Kota Mbesi, Tanjung Bendera hingga Watu Kodhi, Desa Bhamo. Sepanjang bentangan itu pula  kita akan menikmati pemandangan alam  yang luar biasa. Tidak hanya savananya. Tetapi alam sekitar selalu memancarkan kepuasan lensa mata dan bilik batin kita.

Ditampar sepoi-sepoi angin laut, pemandangan  savanna yang luas,  seakan-akan memuntahkan asa yang hangat.  Sebentar-sebentar kita menatap birunya laut. Sayup-sayup  Pulau Mules tertangkap  lensa mata. Meliuk ke arah timur, kerucut Gunung Inerie terlihat menjulang ke langit. Awan putih tipis-tipis melingkar pada kerucut puncaknya. Sungguh terakik dalam pendar jiwa kita. Mengagumkan. Luar biasa.

Perjalanan menuju savanna Mausui bukanlah perkara sulit. Enteng saja.  Jenis kendaraan apa saja yang kita gunakan bisa tembus  ke sana . Soalnya lintasan jalannya mulus. Pemerintah Daerah Manggarai Timur sangat konsen urus jalan di lintasan itu. Bukan saja karena alasan lintasan itu jadi alternatif menuju Borong-Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, tetapi potensi wilayahnya.

Di   bentangan savana  Mausui hingga Watu Kodhi inilah,  ternak kuda, sapi, dan kerbau hidup bebas. Ternak-ternak itu milik beberapa warga dari dua desa itu.

Meski tidak semua penduduk di pesisir selatan memiliki sekaligus tiga jenis ternak itu,  tetapi setidaknya, punya satu dua ekor sapi atau kerbau. Ada juga punya  ternak kuda tetapi tidak punya ternak kerbau. Kecuali beberapa orang seperti  Anton Tandang, Frans Lawi, Dominikus Nau, Gas Jala  dan beberapa warga lainnya. Mereka-mereka inilah yang  memiliki tiga jenis ternak itu sekaligus.

Dari tiga jenis ternak yang hidup di savana itu, ternak kudalah hewan kebanggan masyarakat Etnik Rongga. Sebab jenis ternak ini memiliki nilai historis yang tinggi. Nilai sosial ekonomi sekaligus menunjukkan peradaban masyarakat setempat.

Namun terpaan bencana panas panjang tahun 2015 lalu mengakibatkan ternak  yang umumnya dipelihara dengan cara membiarkan  di padang savanna Maususi  itu mati  satu-satu. Bersamaan panas panjang ternak-ternak itu berjatuhan. Terkulai mencium tanah. Tidak ada ternak yang bisa  diselamatkan meski berbagai upaya telah  dilakukan. Hingga saat ini belum ada warga yang mampu mengadakannya kembali. Sebab  kondisi ekonomi memrihatinkan. Kembang kempis. Ancaman akan punahnya ternak tersebut pun tidak bisa dihindarkan lagi.

Dari sisi sejarah,sejak leluhur  Etnik Rongga menempati wilayah  pesisir selatan Kecamatan Kota Komba itu, ternak kuda merupakan tanda peradaban seseorang. Selain berfungsi sebagai alat transportasi mengangkut bahan-bahan makanan dari kebun, mahar perkawinan juga menunjukkan predikat secara ekonomi.

Karena itu setiap warga, apabila memiliki pendapatan yang lebih dari hasil pengolahan kebun ladang, menyadap nira atau berburu ikan di laut mereka berusaha membeli  ternak kuda. Jika sudah mendapat-kannya mereka memelihara secara telaten hingga berkembang pesat. Budidaya ternak tersebut pun selalu dipertahankan  dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Hasil penelusuran wartawan. Dari sisi perjalanan waktu  bencana yang menimpah ternak kuda bukan hanya terjadi pada  tahun 2015 lalu. Jauh sebelum itu, pernah terjadi. Sekitar tahun 1969 pernah terjadi bencana serupa. Yakni serangan penyakit anthraks.Saat itu banyak ternak kuda  mati. Tetapi dari sekian banyak ternak yang jadi korban keganasan penyakit tersebut, beberapa diantaranya bisa diselamatkan karena berhasil mereka ungsikan ke tempat lain. Dari sisa ternak yang ada itu, kemudian dibudidayakan secara tradisional sehingga perkembangan ternak tersebut bisa dipulihkan.

Tidak semua warga etnik itu memiliki ternak tersebut. Hanya orang-orang tertentu saja. Tetapi ikatan kekerabatan yang kuat antar warga maka para pemilik hewan itu akan menyerahkan sebagian induk ternak kudanya kepada warga lain untuk dipelihara.Kebijkan ini mencerminkan rasa solidaritas serentak memberi ruang kepada warga  lain agar ternak tersebut memasyarakat dan menjadi kebanggan bersama.

Dengan cara ini bisa diamini betapa membanggakan memiliki ternak tersebut sehingga upaya budidayanya menjadi ethos kebijakan bersama. Apabila ada warga yang meminjam ternak karena desakan kebutuhan berkaitan dengan urusan keluarga pemilik kuda akan  memberinya dengan sukarela tanpa  kwitansi pinjaman. Dan semua warga insaf akan kearifan tersebut. Menghayati sebagai kebajikan bersama.

Adalah Fery Huick. Pelaku pariwisata di Kota Komba. Ditemui wartawan beberapa waktu lalu menjelaskan, ternak kuda menjadi salah satu keunikan pariwisata di wilayah itu. Bahkan ternak tersebut telah  menjadi ikon pariwisata di Mbolata-Maususi, Kelurahan Watungge pada khususnya dan Manggarai Timur pada umumnya. Karena itu pihaknya senantiasa memperkenalkan sarana transportasi kuda itu  kepada wisatawan asing yang hendak mengaso di seputaran savanna Mausui. Namun belakangan ini tidak bisa efektif lagi. Sebab persediaan  ternak kuda sudah tidak ada lagi. Menyusul bencana panas panjang beberapa waktu lalu.

“Kepada wisatawan saya selalu perkenalkan alat transportasi kuda. Mereka senang dan sering menggunakan jasa kuda. Pemilik kuda pun mendapat peng-hasilan dari jasa kuda itu. Hanya perlu pemulihan keberadaan ternak itu menyusul bencana panas panjang beberapa waktu lalu. Saat ini agak sulit saya dapatkan kuda bila wisatawan Manca Negara membutuhkannya,” ujarnya.

Kecuali itu dia mengharapkan masyarakat setempat  mencari solusi. Mengadakan bibit ternak kuda sehingga hewan kebangaan tersebut tetap lestari. Jika tidak,  maka jenis ternak tersebut bisa  puna di wilayah ini.

Tokoh masyarakat Mausui, Markus Bana dan Simon Liko yang ditemui wartawan, mengaku ternak kuda hanya beberapa saja yang masih sisa. Itupun jenis jantan. Sedangkan betina tidak ada lagi. Yang jantan bisa selamat karena saat panas panjang masih bisa bertahan hidup di tempat pengasingan. Sementara yang betina dan anaknya mati karena tidak bisa bertahan dengan kondisi alam yang ganas.

Menurut keduanya. Sepanjang sejarah. Bencana beberapa tahun lalu itu merupakan yang terbesar. Sebab hewan yang mati tidak hanya kuda tetapi termasuk sapi dan kerbau.

Ternak kuda dilihat dari fakta historis, beber keduanya, yang ditemui terpisah memiliki nilai lebih khusus dan khas. Karena itu  keberadaan ternak tersebut menjadi kebanggan. Selain itu menjadi sumber pen-dapatan ekonomi masyarakat menyusul harga beli warga Jene Ponto, Sulawesi Selatan sangat bagus.

Namun saat ini tidak bisa diharapkan lagi karena masyarakat setempat sulit mendapat bibitnya. Keduanya mengharapkan agar di masa pemerintahan yang baru Bupati Manggarai Timur, Ande Agas, SH.MHum dan Wakil Bupati, Drs. Stefanus Jaghur bisa menolong warga setempat. Mengadakan bibit kuda bagi kelompok masyarakat setempat sehingga ternak yang menunjukkan peradaban Etnik Rongga ini tetap lestari.

Untuk diketahui, komunitas  Rongga merupakan

salah satu etnik minoritas di wilayah Kabupaten Manggarai Timur. Sebelum-sebelumnya komunitas ini kurang mendapat perhatian  karena tidak popular. Baru  setelah Kabupaten Manggarai Timur berdiri otonom, etnik tersebut mendapat perhatian termasuk memberdayakan potensi dan kekayaan budayanya. Bahkan salah satu tarian tradisional etnik tersebut yakni Vera sudah diakui sebagai tarian nasional.

Selain kekayaan budaya dan tarian daerah, etnik ini memiliki kebanggan terhadap ternak. Terutama ternak kuda. Karena itu saat panas panjang  menerpa beberapa waktu lalu, mereka merasa  terpukul. Sebab ternak-ternak kuda itu rontok, terklaui lemas dan mati.

Bencana panas panjang yang melanda wilayah itu beberapa waktu lalu seperti angin puting beliung. Tanpa maaf. Rumput-rumput kering total. Ternak-ternak  pun laiknya terpanggang di pusaran Savana Mausui.  (Kanis Lina Bana/Denore.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: