Oleh : Kanis Lina Bana*
Tentang Colol. Terkenanglah lembar-lembar akrab yang pernah saya alami. 18 Tahun lalu. Hari masih pagi. Lagi asyik baca koran. Koran Kompas.
Saya datang ke Redaksi Pos Kupang lebih awal dari biasanya. Hendak memastikan apakah berita saya turun atau tidak. Legah rasanya. Tidak sia sia. Berita saya jadi headline Pos Kupang hari itu. Tanggalnya saya lupa. Hanya tahun saya masih ingat, 2004 lalu.
Ketika, lagi membidik alinea demi alinea berita utama HU Kompas, saya dihentakkan dengan panggilan mendadak. “Duk rasanya!” “Salah apa saya?” Begitulah sejumput tanya yang meluap. Melingkup rasa. Menampar pualam hati.
“Kanis segera bertemu Pemimpin Redaksi!” Demikian redaktur mengingatkan saya. Meski baca koran tetap saya lanjutkan, tetapi ulu hati seperti perih. Soalnya redaktur hanya menyampaikan pendek saja. Tidak lebih. Bikin saya penasaran. Anehnya lagi , saya tidak tanya balik. “Ada apa gerangan sehingga Pemred Pos Kupang panggil saya”. Antara cemas, melototi deretan huruf huruf pada koran HU Kompas mengutak-atik pikiran saya.
Saya menunggu penuh sabar. Sesekali menoleh ketika pintu ruang redaksi menjerit. Tak tampak jua wajah Pemred, Marcel Weter Gobang-kalah itu. Beliau meninggal tahun 2013 lalu. Saya menghela napas. Lalu kembali ke berita koran. Meski tidak konsentrasi. Buyar. Sekadar membunuh cemas saya baca terus!.
Jam 9.30 Wita. Usai rapat pagi. Pemred Pos Kupang-Marcel Weter Gobang minta saya masuk ruang kerjanya. Agak sungkan saya masuk ruangan full AC itu. Tetapi harus. Sebab saya dapat panggilan mendadak.
“Kanis..kau ke Ruteng-Manggarai. Liput kasus Colol. Garap baik baik kisah pedih keluarga korban pasca tragedi. Seperti apa kondisinya, tulis,” jelasnya.
“Kanis..ingat!”. Engkau diutus ke sana untuk liputan. “Jangan bikin diri sock tahu”. Dengar apa kata mereka!. Tulis. “Saya tunggu laporanmu,” tambah Bapak Marcel Weter Gobang.
Plong. Juga bahagia. Pulang ke Manggarai. Pulang kampung. Selain tugas liputan, bisa mampir sebentar ke rumah orang tua di Mausui-Waelengga. Hanya tujuh KM dari Aimere. Bisa curi waktu. Biar atur untuk satu dua jam. Yang penting bisa lihat bapak-mama. “Begitu kira kira rencana saya!”
Demikian perasaan hati melompat-lompat saat meninggalkan ruang kerja Pemred Pos Kupang kala itu. Senang-berat. Campur aduk.

Hari itu saya turun lapangan. Hanya satu feature pendek saya garap. Padahal setiap hari wajib hukumnya garap tiga berita. Bagaimana saja caranya. Pokoknya tiga berita. Hari itu, jelas pikiran tidak nyaman. Tidak tenang. Melayang laying. Ingin segera tinggalkan Kupang mengetuk ngetuk pintu hati.
Namun capain hari itu, redaktur paham. Sehingga tidak ada komplain. Hanya pesan saja. “Kanis siap diri baik baik. Siap pakaian. Jadwal very minggu ini. Karaeng bisa ikut very saja. Jangan naik pesawat biar uang jalanmu bisa lebih hemat,” imbuhnya sedikit menghibur.
Dua hari kemudian, saya tinggalkan Kupang. Penyeberangan Bolok- Kupang Aimere menggunakan jasa Very Ile Mandiri. Saat dalam very, ketika bus laut itu bergerak tinggalkan dermaga, saya temukan segerombolan anak muda. Mereka duduk santai. Persis di anak tangga menuju dek dua.
Saya merapat pelan-pelan. Berhenti sejenak di anak tangga itu. Segelintir pemuda dari mereka menoleh ke arah saya. Melirik saya. Sebab saat mendekati mereka, saya sedikit sendengkan telinga. Nalar saya juga liar. Sepertinya mereka menangkap gurat ingin pada testa saya. Benar juga. Saya sedang endus. “Ada apa gerangan anak muda ini?”.
Testa dan kontur wajah pemuda-pemuda itu tidak asing. Semuanya jelas. Wajah orang Manggarai. Logatnya kentara. Pelan-pelan saya mengusut gerak-gerik mereka. Saya pantau diskusi mereka. Saya penasaran. Dan akhirnya lalulintas diskusi saya rekam. Tentang Colol. Tetapi saya enggan nimbrung.
Saat hendak turun di Dermaga Aimere saya tangkap sinyal bahwa mereka mahasiswa yang tergabung dalam organisasi,” SIO MAMA”. Mereka menuju Ruteng untuk mendukung keluarga Colol. Hubungan jadi dekat. Selama liputan di Ruteng saya dapat informasi cukup kaya dari mereka. Hingga kini kelompok anak muda ini menjadi sahabat dekat saya. Mereka menjadi nara sumber bermutu. Sebab apa yang mereka informasikan selalu berlandas data dan analisis tajam terpercaya.

Dengan motor ojek sewaan saya meluncur ke Colol. Di pertigaan cabang Colol Watunggong dan Benteng Jawa saya rehat sejenak. Seraya bolak-balik berpikir. Saya coba tenangkan diri. Rasanya sulit damai. Di rumah siapa saya boleh berteduh adalah segumpal kegelisahan yang kian liar. Colol sudah dekat, pikiran masih kacau. Belum lagi ketika rehat di pertigaan itu saya diingatkan. Warga Colol masih trauma. Mereka agak sungkan bertemu orang baru. Saya ciut. Saya tambah jam istirahat di pertigaan itu.
***
Siang agak suram. Sedikit pucat. Pendarnya malu-malu. Langit juga demikian. Kusam dibalut abu-abu. Awan tak lagi nampak. Hari itu, cuaca agak ringkih. Seolah enggan bersahabat. Miris dan ogah.
Saya putuskan ke Pastoran Paroki Colol. Hemat saya Pastor Paroki Colol pasti membantu saya. Sekurang-kurang memberi tumpangan bisa berteduh sejenak. Namun hari itu Pastor Paroki Colol tidak ada di tempat. Hanya dua orang mahasiswi STKIP-sekarang UKI St. Paulus Ruteng ada di pastoran. Mereka sedang jalani praktek. Juga seorang bapak yang kemudian saya kenal sebagai pembantu pastor.
Saya diperkenankan masuk pastoran. Bahkan diizinkan untuk menginap malam itu. Hari berikutnya setelah data saya peroleh pulang Ruteng. Tulis berita kirim ke Kupang via faks di Telkom.
Hari hari selanjutnya, kegiatan saya sama. Pergi ke Colol wawancara korban dan keluarga korban. Saya tidak sungkan lagi nginap di Pastoran Colol.Saya betah dan akrab dengan warga Colol. Beberapa informasi dan keluarga korban berhasil saya wawancara dengan lugas. Sang bapak di pastoran yang pandai meniup suling itu jadi guide saya. Siap bantu jika butuh informasi tambahan. Wawancara beberapa pihak yang belum saya ditemui .
Hasil liputan saya selama di Colol menjadi berita utama Pos Kupang selama dua pekan. Pada pekan pekan berikutnya saya ditugaskan menulis delapan halaman sisipan Pos Kupang. Angle yang saya pilih variatif. Tulisan mendalam ini sangat membantu warga Colol-korban 10 Maret 2004. (bersambung)
