Oleh Kanis Lina Bana*
Saya tidak tahu persis. Entah apa namanya. Tetapi tiba tiba liar begitu saja di tengkorak otak saya. Padahal saya sedang hela napas sejenak setelah lelah meloloti naskah buku, “ Menemukan Bejana Indah”.
Semestinya saat jedah seperti itu hanya merokok. Menyedot dalam dalam, menyembulkan asap dan menikmatinya. Itu saja. Tetapi tidak demikian, untuk malam tadi. Otak saya justeru dijenguk pengalaman kecil nan menantang. Pengalaman beberapa tahun lalu.
Dan juga, sebenarnya pengalaman itu sudah saya kubur dalam dalam. Tetapi iblis apa di malam tadi, tiba tiba menggoda saya. Bahkan memaksa pikiran dan nalar hingga saya pun pasrah mengalah. Lahirlah tulisan kecil ini. Seperti ini. Hanya judul-judulan.
Pengalaman kecil yang saya ciutkan di atas demikian kisahnya. Saat lagi hangat-hangatnya belajar menulis buku. Awal tahun 2000-an. Pokoknya napsu tegangan tinggi segera menghasilkan buku mau ledak rasanya. Padahal pekerjaan reguler dengan tingkat kesulitan tinggi selalu mengekori. Tetapi itulah..namanya juga nekat. Selalu dengan pokoknya. Itu kata hati saya waktu itu.
Memang sudah ada naskah buku yang sedang saya garap. Judulnya, “Makna Bertapak”. Tetapi masih longgar sana-sini. Unsur kohesi, koherensi, dan korelasi masih renggang. Belum rapat betul. Maklum sedang belajar. Terlalu nekat juga. Seperti napsu kuda tenaga ayam. Tetapi itulah gelora saat itu. Belum lagi referensi amat terbatas, jadi kesulitan yang sama beratnya.
Lantaran sedang sesak dilumuri gelisah-alias geli geli sesak, saya putuskan mengaso ke kamar Pater Wilfrid Babun, SVD. Di Biara SVD Ruteng. Pater Wilfrid menyambut hangat kedatangan saya. Kami bicara lepas tanpa tema. Sambil cek cek buku pada raknya.
Saya juga agak memaksa Pater Wilfrid untuk segera selesaikan satu artikel yang sebelumnya sudah saya minta. Pater Wilfrid sampaikan sedang proses editing. Katanya tidak lama lagi segera serahkan naskahnya. Saya legah. Meski naskah naskah tersebut mengendap cukup lama. Tiga tahun kemudian baru bisa terbit. Itupun setelah orang orang kompeten membaca ulang ulang naskah saya itu.
Hampir satu jam lewat kami diskusi. Di sela sela itu Pater Wilfrid menguatkan saya. “Belajar itu proses. Menulis itu aktivitas “melahirkan”. Jangan menyerah. Tulisan selalu abadi”. “Kraeng sudah mulai..saya kira ini motivasi juga buat saya,” katanya.
Sambil tukar gagas kami teruskan diskusi. Mengalir dengan longgar dan liarnya. Sulit dijinakkan. Menarik dan menggetarkan. Soalnya materi diskusinya itu. Mulai dari hal santai sampai hal hal sangat serius. Mulai dari filsafat Barat Kuno hingga iklan-iklan di TV. Diselingi prokem prokem jenaka. Jadinya diskusi kami ringan berminyak. Jenaka berkelenjar. Kami lebur dalam asyiknya. Tak terasa. Hingga jam makan siang tiba. Pater Wilfrid ajak saya makan siang, seraya bergegas menuju kamar makan.
Di sana sudah berkumpul sejumlah pastor dan bruder. Mulai pastor usia balita hingga pastor usia bonus. Sudah pada posisi mengelilingi meja. Semua berdiri siap berdoa. Lonceng tanda mulai dibunyikan dan kepada saya diminta pimpin doa.
Ada buku doa makan di atas meja. Tetapi lantaran kaget dengan permintaan itu, saya pimpin dalam doa spontan. Serentak juga pikiran liar seperti ini,” mungkin karena saya satu-satunya awam ada bersama di tengah tengah mereka hari itu”. Sekali sekali pimpin doa. Demikian kesimpulan saya waktu itu.
Saya mulai doa. Diawali tanda salib dilanjutkan doa spontan. Isi doanya saya masih ingat. Kurang lebih demikian,” Tuhan tanpa Dikau kami tidak bisa buat apa-apa. Kami manusia nisbi.Terima kasih atas berkatMu, siang ini kami boleh makan siang dan seterusnya ditutup dengan Amin”.
Begitu kata amin selesai, seorang pastor tua sambil pegang piring menuju termos makan, komentar. “Ya.. doa ini terlalu mengagungkan Tuhan. Seolah-olah kita manusia tidak ada apa-apanya. Kalau manusia tidak ada, Tuhan bisa apa?” nyeletuknya. “Tuhan tidak berdaya, Tuhan tidak hebat kalau manusia tidak ada” . Tuhan hebat justeru karena ada kita manusia fana ini, katanya lagi.
Mendengar itu, saya tatap nanar pastor misionaris itu. Posturnya tinggi bulat, gemuk, “polisi tidur-tumpukan lemak” di mana mana. Sepertinya saya ditantang tentang teologi yang pernah saya pelajari. Jujur saya bingung. Terperangah. Saya tidak nyaman. Pelajaran teologi fundamental, teologi kontekstual, teologi pastoral, sakramentologi, Kristologi, Mariologi, sosiologi agama, eksegese Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mendarat sesak di kepala saya. Nyeletuk dalam hati, “Ah Tuhan..ada apa ini. Maafkanlah kami!”
Jujur selama makan saya tidak konsentrasi. Menu makanan terasa tawar di lidah. Otak saya putar sana-sini. Lompat ke sana ke mari. Pokoknya tidak beraturan. Tetapi kadang saya sadar benar juga, ya!
Untuk menyegarkan kembali pelajaran Teologi, setibanya di rumah saya bolak balik lagi diktat diktat yang tebal tebal itu. Semalam penuh saya jejaki ajaran Teologi. Saya akhirnya menemukan kata kuncinya, Tuhan-Manusia. Sebaliknya Manusia-Tuhan.
Lalu gugatan terhadap doa siang saya tadi, di mana kelemahannya. Dalam kebingungan itulah saya temukan kata kunci yang menghubungkan Tuhan dengan Manusia, yaitu kata “dan”. Allah Dan Manusia. Jika demikian, “manakah yang lebih utama dan penting? Ini juga pertanyaan yang menusuk batin saya.
Dalam keraguan serba tanya, saya coba bermain dengan filsafat kata “dan” itu. Saya menyimpulkan, gugatan pater di siang itu mengajarkan saya bahwa “dan” menjadi penting karena posisinya menghubungkan Tuhan dengan manusia. Pun sebaliknya manusia dengan Tuhan.
Tetapi tidak sebatas menghubungkan melainkan bermakna “co creator”. Artinya keterlibatan dan melibat. Kerja sama dan sama sama kerja yang terlibat, dan melibat bersifat mutlak dalam proses penciptaan. Allah menciptakan alam raya beserta isinya. Mencipta dari yang tiada menjadi ada. Sedangkan manusia “mencipta” lebih kepada melanjutkan dan memelihara hasil ciptaan Allah itu. Ciptaan Allah dari tiada menjadi ada, sedangkan manusia dari yang sudah ada memelihara ada yang lain itu.
Nah..pada titik ini, “dan” menjadi penting dan menarik karena menghubungkan manusia dengan Tuhan. Menghubungkan relasi yang timbal balik. Relasi Allah yang transenden dan imanen sekaligus. Ah..Tuhan, otak kecil kami tak sanggup menyelami-Mu. Maafkan jika doa doa kami terlalu, bahkan memaksa dan menggugat. Indra tak mencukupi. Engkau dasyat tak terjangkau. Kau memang hebat! (*)
