google.com, pub-6484823448236339, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Warga Suku Ndoko Boikot Lahan Pembangunan BTS

Lahan kantor Kelurahan Tiwu Kondo yang diklaim warga Suku Kondo, Kecamatan Elar. Foto/Denore.id/Iren Saat

BORONG, DENORE.ID – Warga Suku Ndoko di Kelurahan Tiwu Kondo, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT memboikot lahan pembangunan Base Transceiver Station( BTS) di wilayah itu. Pasalnya lahan yang  dimanfaatkan untuk bangun fasilitas tersebut masih menyisahkan persoalan. Warga meminta pemerintah segera menyelesaikan masalah status tanahnya sebelum pembangunan sarana komunikasi itu dilanjutkan.

Juru bicara Persekutuan Adat Suku Ndoko, Sebastianus Hambur, menyampaikan hal itu kepada Denore.Id melalui pesan whatsApp, Rabu (9/2/2022).

Dia menyampaikan hal itu agar masalah tanah dimaksud tidak berlarut-larut yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Hambur, menjelaskan persekutuan warga Suku Ndoko tidak pernah menyerahkan tanah seluas  6 Hektar kepada Pemda Matim. Dengan itu otoritas kepemilikan tanah yang telah dibangun BTS itu  masih di bawah kuasa persekutuan adat. Apabila pemda klaim tanah tersebut milik pemerintah, jelasnya, identik merampas dan melecehkan hak ulayat masyarakat setempat.

Keterangan Hambur dibenarkan mantan Kepala Desa Tiwu Kondo periode 1988-1996, Sebastianus Nekong. Dia mengaku selama memimpin wilayah tersebut belum pernah menyerahkan tanah ke Pemda Matim. Pengalihan status tanah Desa Tiwu Kondo menjadi tanah Kelurahan Tiwu Kondo berlangsung di akhir masa jabatannya.

“Diakhir masa jabatan saya tahun 1996 Desa Tiwu Kondo dialihkan menjadi Kelurahan Tiwu Kondo. Kala itu tidak ada penyerahan tanah  seluas  6 Ha dari persekutuan adat Suku Ndoko ke Pemerintah Kabupaten Manggarai ,” jelasnya.

Hambur mengakui meski status tanah belum jelas, pada tahun 2019 Pemda Matim berencana bangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun rencana tersebut batal karena masyarakat menolaknya. Dasar penolakan dari  Suku Ndoko, lanjutnya, lantaran tanah tersebut belum diserahkan kepada Pemda Matim. Anehnya lagi saat ini di atas lahan yang belum jelas status kepemilikannya Pemda Matim  justru bangun Base Transceiver Station( BTS). “Kami  bingung keberatan sebelumnya tidak ada titik terang penyelesaian, malah  sekarang bangun tower,” sesalnya.

Sementara bukti kepemilikan tanah yang dikantongi Pemda Matim, Sebastianus, menerangkan Gambar Situasi ( GS) yang dibuat l 10 Mei 1976 oleh Camat Elar, Frans Nahas B.A memuat tanah seluas 27 Hektar. Tanah tersebut merupakan tanah sengketa antar Pemda Matim dengan warga Lidi. Sengketa  tanah tersebut akhirnya dimenangkan Pemda Matim berdasarkan keputusan hukum tetap Makhamah Agung Republik Indonesia, Rabu 10 Maret 1999 No. 1439K/PDT/1998.

Sedangkan tanah seluas enam (enam) hektare, jelas Hambur, ada di luar tanah pemda seluas 27 Hektar yang disengketakan itu. Namun Pemda Matim klaim bahwa tanah seluas 6 hektar berada dalam wilayah tanah 27 hektar itu.

Hambur menerangkan, di era sekarang ini jaringan telekomunikasi sangat dibutuhkan. Namun, pengambil-alihan lahan secara sepihak oleh Pemda Matim untuk kepentingan tersebut tidak bisa ditelerir. “Adanya tower di Tiwu Kondo sangat dibutuhkan, tetapi tidak menjadi alasan pemerintah ambil alih tanah masyarakat sesuka hati,” tegasnya.

Menurutnya, seyogyanya sebelum pembangunan infrastruktur telekomunikasi berlangsung, Pemda Matim  menggelar sosialisasi kegiatan tersebut agar masyarakat di sekitar lokasi mengetahui dampaknya. Untuk maksud tersebut pihaknya pernah minta pemerintah membuka ruang dialog guna  membahas persoalan yang tengah terjadi itu. Namum permintaan itu tidak diindahkan tanpa alasan jelas. Atas dasar itu maka  September 2021, warga Suku Ndoko melarang para pekerja untuk melanjutkan pekerjaan proyek Kominfo itu.

“Karena tidak ada ruang dialog, maka warga suku Ndoko boikot lahan dengan memasang patok di sekeliling pembangunan BTS dan Kantor Kelurahan Tiwu Kondo yang juga dibangun di atas tanah milik Suku Ndoko,” tuturnya.

Bongkar  dan Lapor Polisi

Lokasi pembangunan BTS yang dihentikan. Foto/Denore.id/Iren Saat

Beberapa hari setelah masyarakat Suku Ndoko boikot lahan pembangunan BTS, sejumlah anggota TNI dan Polri mendatangi lokasi. Mereka bongkar semua  patok  baik di lokasi pembangunan BTS maupun di kantor Kelurahan Tiwu Kondo.

Selain bongkar patok enam orang warga Suku Ndoko dilaporkan ke aparat kepolisian. Delik laporan warga Suku Ndoko dituding merampas tanah pemda. Dari laporan tersebut, dua orang warga di antaranya telah memberikan keterangan. 

Terhadap sikap pemerintah yang menggunakan jasa TNI dan Polisi membongkar patok dan melaporkan enam warga Suku Ndoko,Sebastianus menilai  sebagai tindakan semena-mena terhadap masyarakat.

Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Manggarai Timur, Yosef Durahi, mengaku tidak mengetahui persoalan tanah itu saat menjabat Camat Elar. Meski demikian, sepengetahuannya, tanah di Kantor Kecamatan Elar, Kantor Kelurahan Tiwu Kondo, dan lokasi  bangun BTS itu milik Pemkab Matim. Namun, terangnya, ada warga masyarakat mengatasnamakan Suku Ndoko mengklaim sebagai pemilik tanah itu. Bagi Pemda, lanjutnya, tidak ada  masalah. “Warga Suku Ndoko punya hak untuk klaim, tetapi paling penting memiliki bukti sah ,” terang Yosef, saat ditemui Denore.id di ruang kerjanya, Kamis, 10/2/2022).

Kepala Badan Pertanahan Matim, Yosef Durahi. Foto/Denore.id/Iren Saat

Ia menjelaskan, masalah tanah yang diklaim Suku Ndoko, Pemda Matim sudah mengadakan pertemuan terbatas  membahas langkah teknis yang akan ditempuh. Hasilnya, pemerintah melaporkan ke pihak kepolisian.

” Tanggal, 27 Januari 2022 Pemda Matim sudah bahas  bersama.Pembahasan masalah itu dipimpin Sekda  yang menghadirkan  Asisten I, Satpol PP, Lurah Tiwu Kondo, dan Camat Elar.Hasil pertemuan, pemerintah Kelurahan Tiwu Kondo dan Pemerintah Kecamatan Elar melaporkan persoalan itu ke pihak Kepolisian,” Jelasnya.

Lantaran masih dalam proses diharapkan masyarakat Suku Ndoko tetap menjaga situasi agar tetap kondusif. “Saya harap warga Suku Ndoko bersabar. Harus jaga situasi agar tetap kondusif. Pemda berusaha agar segera menyelesaikan persoalan itu,” katanya.

Pada bagian lain, Yosef, penyelesaian masalah tanah terbentur anggaran yang sangat terbatas. “Anggaran Dinas Pertanahan di bidang penyelesaian permasalahan tanah sangat kecil. Tentunya dalam menyelesaikan persoalan tanah kita turun langsung ke lokasi untuk mengadakan sosialisasi, mediasi, dan dialog. Agar kegiatan ini berjalan lancar tentunya kita butuh dana,” tutupnya.

Penulis: Iren Saat

Editor : Kanis Lina Bana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: