Oleh: Kristian Emanuel Anggur
CATATAN
Perang Israel VS Hamas, sejak Minggu (7/10/2023), selain meresahkan masyarakat dunia, kita semua merasa prihatin. Berbagai ragam tanggapan, cenderung menggiring opini negatif dan menyulut sikap pro-kontra, dukung-mendukung bahkan condong mengalihkan konflik politik menjadi sentimen agama. Menanggapi tragedi kemanusiaan, dengan pemahaman utuh dari sudut pandang fakta sejarah dapat mengurangi penilaian subyektif-sepihak dalam membaca sebuah peristiwa. Selain mendudukan persoalan pada posisi netral, setidaknya menggugah nurani kolektif kita akan rasa solidaritas untuk berpihak pada korban yang terus berjatuhan di keduabelah pihak, terutama anak-anak, wanita dan lansia yang tidak berdosa baik di pihak Hamas maupun di pihak Israel.
21. Tahun 634 m, Pasukan Arab Islam menaklukkan Tanah Suci. Yerusalem dijadikan kota suci ketiga selain Mekah dan Medina. Baru pada awal abad ketujuh, setelah ekspansi umat muslim Arab berhasil menaklukkan Yerusalem, Agama Islam mulai berkembang di Palestina hingga sekarang.
22. Tahun 1009 m, Sultan Mesir, Khalif Hakim menghancurkan Gereja Kubur Suci (Sanctum Sepulchrum atau gereja makam kudus di Yerusalem lama) serta berbagai situs bangunan milik Kristen. Para peziarah dihalang-halangi dan kehilangan kebebasannya untuk beribadah di tanah suci, sehingga menimbulkan permusuhan dan mengobarkan api peperangan antara Islam dan Kristen. Terpaksa rombongan peziarah yang ditandai dengan salib harus membayar pengawal khusus, yang disebut Satria Templar agar bisa memasuki Yerusalem. Tujuan utama pihak Kristen hanya menjamin kebebasan dan keamanan para peziarah ke tanah suci. Maka terjadilah “Perang Salib” tahun 1096-1270 masehi. Tahun 1099, para pejuang salib mengalahkan pasukan Islam dan mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem.
23.Tahun 1187, Sultan Salehudin dari Mesir, mengalahkan pasukan Kristen di Tanduk Hitin Galilea, dan mengakhiri kerajaan Latin di Yerusalem. Ibukota kerajaan Latin kemudian dipindahkan ke Akko.
24.Tahun 1263, Sultan Beybars dari Mesir menaklukkan benteng-benteng para pejuang salib yang masih tersisa.
- Tahun 1517, Pasukan Turki Utsmaniyah menaklukkan seluruh tanah suci dan memerintahnya selama 400 tahun (empat abad). Pada masa selama perang salib inilah Yerusalem berkali-kali dihancurkan, termasuk Bait Suci. Di atas reruntuhannya dibangun mesdjid Al-Aqsa oleh dinasti Utsmani-Ottoman, bangsa Israel ditawan dan dibuang ke negeri asing atau diusir dari Yerusalem menjadi bangsa diaspora yang tersebar di seluruh dunia.
- Semangat Zionisme muncul pada akhir 1880-an di Eropa Tengah dan Timur yang berjuang diam-diam melalui lobi Jerman untuk mendekati pemimpin kekaisaran Ottoman Turki agar memberikan sebagian Tanah Palestina menjadi Eretz Israel (pemukiman Israel). Namun permintaan Yahudi diaspora untuk sepetak tanah (Khibbutzim), tidak diberikan sejengkalpun oleh Pemerintah Ottoman. Gerakan kebangkitan nasional Yahudi Eropa, lahir sejalan dengan meningkatnya tekanan dan berbagai penganiayaan terhadap kaum Yahudi (pendatang), sehingga mengalami kesulitan untuk berasimilasi secara penuh dengan penduduk Eropa. Gerakan kebangkitan Yahudi ini menjalar sampai ke Amerika bahkan ke seluruh mancanegara. Di mana-mana sisa-sisa kecil Yahudi diaspora mendirikan komunitas Yerusalem Baru. Semangat nasionalisme untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa kecil Yahudi diaspora yang merindukan kembalinya kejayaan Zion ini diberi nama Zionisme. Semangat Zionisme sesungguhnya sudah dipopulerkan pertama kali oleh perintis kebudayaan Yahudi, Mathias Acher (1864-1937). Kemudian setelah perang dunia I, sisa keturunan Yahudi diaspora Austria, yang bernama Dr. Theodore Herzl dan Dr. Chaim Weizmann, dengan semangat patriotisme Israel sejati yang bernyala-nyala menyusun doktrin Zionisme sejak 1882, kemudian mendirikan organisasi resmi yang mempersatukan bangsa Yahudi diaspora dengan nama “Gerakan Zionisme.” Sejak itu bendera Zionis dengan logo “Bintang Daud” mulai berkibar. Kaum Zionis menganggap diri mereka sebagai “pengungsi Israel” yang belum kembali ke Eretz Israel, tanah kelahiran nenek moyang mereka. Dalam tradisi agama Yudhaisme-Yahudi (Taurat), bangsa Israel disebut sebagai “bangsa Pilihan Allah” yang diperintahkan untuk menanti kedatangan Mesias yang dijanjikan berkuasa sebagai bangsa yang besar. Mereka percaya bahwa Yahwe telah memerintahkan Israel untuk membangun kembali reruntuhan tembok-tembok kota Yerusalem dan mendirikan rumah bagi-Nya (Ezr 1:2; Neh 2:17; Mzr 51:20). Kesetiaan bangsa pilihan Allah terhadap Yahwe, mendorong Israel untuk menyongsong kedatangan Mesias di Yerusalem baru, kota yang kudus dari Allah (Why 21:2, 10). Motivasi spiritual membangun reruntuhan Bait Allah, mendorong mereka untuk selalu datang berdoa di Tembok Ratapan, menantikan kedatangan Mesias yang dijanjikan.
- Tahun 1917, dalam perang dunia pertama, pasukan sekutu di bawah pimpinan Jenderal Sir Edmund Allenby dari Inggris, mengusir pasukan Turki Utsmani dan menempatkan Tanah Suci di bawah mandat Inggris (Britania Raya). Mandat Inggris mula-mula menyebutkan Uganda sebagai calon negara Yahudi. Reaksi keras, penolakan Yahudi melalui perlawanan dan teror yang dilakukan oleh milisi Yahudi terus menggempur Inggris, sehingga Inggris berjanji akan mengabulkan tuntutan Yahudi, bila berhasil mengalahkan Kekaisaran Ottoman-Turki. Di tengah berkecamuknya perang dunia I, melalui menteri Luar Negeri Inggris, Lord Arthur Balfour keluarlah “Pernyataan Balfour”, yakni penegasan dukungan Inggris yang diumumkan pada tanggal 9 November 1917 bagi sebuah tanah air untuk bangsa Yahudi di Tanah Suci Palestina. Pada akhir perang dunia I tahun 1918 mandat Inggris dikukuhkan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB), dan membentuk pemerintahan Transyordania. Penilaian Yahudi terhadap mandat Inggris, bahwa ternyata Inggris mengabaikan janjinya, sehingga menyebabkan bangkitnya semangat nasionalisme para militan Yahudi Zionis, yang ditandai lahirnya cikal-bakal paramiliter Haganah untuk menekan pasukan Inggris. Administrasi sipil Transyordania tetap saja berjalan, mulai Juli 1920 hingga mandat dicabut 15 Mei 1948. Tahun 1921 pasukan paramiliter Zionis-Haganah diresmikan di bawah pimpinan David Ben Gurion (yang kemudian menjadi perdana menteri Pertama Israel). Pada 1939-1947 bangsa Yahudi berhasil menguasai tanah Palestina seluas 270 hektar. Maka terjadilah gelombang emigrasi Yahudi besar-besaran dari Jerman, Perancis, Rusia, Etiopia, Sudan, Inggris bahkan Amerika menuju Tanah Terjanji Israel sebagai “rumah” mereka yakni “Eretz Israel” (kampung Israel). Sekitar 92 ribu warga Yahudi berhijrah ke Palestina, yang dianggap sebagai kembalinya pengungsi Israel ke kampung halaman mereka sendiri. Pada 1940-1948 warga Yahudi berhasil membangun 73 pemukiman baru (Khibbutzim).[1] Sementara gelombang emigrasi Zionis menuju Israel terus meningkat, menorehkan kronologi sejarah peperangan Israel-Palestina semakin panjang. Bahkan menjadi titik balik pembalasan dendam atas sejarah penaklukan Yahudi tahun-tahun sebelumnya.
- 29 Nopember 1947, dua tahun setelah perang dunia kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerima sebuah rencana pembagian tanah suci antara Israel dan Palestina. Pada masa perang dunia II tercatat dalam sejarah, bangsa Israel diburu dan dibantai oleh Jenderal Hitler, pemimpin fasisme dari Partai Nazi, Jerman, yang dikenang sebagai peristiwa Holocaust. Konon 6.000.000 (enam juta) orang Yahudi termasuk 1.500.000 anak tercatat sebagai korban keganasan Hitler, yang masih tertulis hingga sekarang pada monumen negara Israel di Yad Vashem di gunung Herzl. Peristiwa Holocaust kembali menyulut api semangat revolusi kelompok ultranasionalis Zionis.
- Tahun 1948, mandat Britania Raya-Inggris berakhir. Tanggal 14 Mei 1948, Dewan Nasional Yahudi memproklamasikan Negara Israel atas wilayah yang ditentukan bagi orang Yahudi dan mengusir paksa bangsa Palestina dari rumah-rumah mereka. Namun orang Arab tidak menerima pembagian itu, maka timbullah peperangan antara Arab dan Yahudi. Sejarawan termasyur Israel, Dr. Ilan Pappe, secara ironis mencatat kengerian perang kemerdekaan Israel 1948 ini, bahwa militer Israel telah mendesak imigrasi paksa terbesar dalam sejarah Palestina. Sekitar 1 juta orang diusir dari rumah-rumah mereka dengan todongan senjata, penduduk sipil dibantai, dan ratusan perkampungan dihancurkan secara sistematis. Selama hampir enam dekade pemerintah Israel menyangkalnya, tapi dalam bukti-bukti arsip yang mengesankan, bahwa ideologi terpenting pendirian negara Israel adalah pembersihan populasi asli Palestina secara paksa. Oleh orang Arab disebut sebagai naqba (bencana). Kemudian, Ilan menyebut “pembersihan Etnis Palestina” ini, sebagai; Holocaust kedua, juga banyak kalangan menilai sebagai genosida.”[2] Situasi ini menuntut Majelis Umum PBB untuk mengeluarkan resolusi 194, yang mengamanatkan rekonsiliasi Israel-Palestina dan memberi akses terhadap pengembalian pengungsi.
- Tahun 1949, dicapai gencatan senjata antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, yakni Mesir, Yordania, Syria, dan Libanon. Batas wilayah Palestina yang ditentukan setelah perang itu, adalah Jalur Gaza, Yerusalem Timur dan Tepi Barat Sungai Yordan. Tetapi bagian Tanah Suci yang ditentukan untuk Palestina tidak diperintah oleh Palestina sendiri, melainkan oleh Mesir dan Yordania dengan dalih melindungi Palestina dari keganasan Israel. Mesir mendapat Jalur Gaza, dan Yordania menguasai Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Dalam perang enam hari pada 1967, Israel berhasil mengusir Mesir yang menduduki Jalur Gaza dan mengambil kembali Jalur Gaza yang sebelumnya diperuntukan bagi Palestina. Ini artinya, Israel tidak memusuhi Palestina, tetapi Mesir. Selanjutnya pada perang yang sama, Israel mengusir Yordania yang menduduki Sungai Yordan dan Yerusalem Timur yang sebelumnya diperuntukan bagi Palestina. Lagi-lagi Israel tidak memerangi Palestina, tapi Yordania. Beberapa kalangan menilai, mengapa Palestina justru memusuhi Israel, bukan Mesir dan Yordania? Palestina mestinya bekerjasama dengan Israel untuk mengusir Mesir dan Yordania yang menduduki wilayah Jalur Gaza, Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Seharusnya Palestina berterima kasih kepada Israel yang berhasil mengusir Mesir dan Yordania.
- Tahun 1956, Israel menduduki Semenanjung Sinai, karena Mesir menutup Teluk Aqaba atau Selat Tiran dengan maksud menghalangi kapal-kapal Israel keluar-masuk Laut Merah dan Lautan Hindia. Akhirnya PBB turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini.
- Tahun 1967, Perang Enam Hari antara Israel dengan lima negara musuh Arab-nya, yakni; Mesir, Yordania, Syria, Suriah dan Libanon. Di bawah pimpinan Jenderal Golda Meir dan Yitzhak Rabin, Israel berhasil menduduki seluruh semenanjung Sinai, Jalur Gaza, seluruh Dataran Tinggi Golan, dan Tepi Barat Sungai Yordan. Setelah Perang Arab-Israel 1967, Dewan Keamanan PBB mengesahkan resolusi no. 242 yang menyerukan penarikan tentara Israel dari wilayah yang diduduki selama perang, dengan imbalan “pengakuan kedaulatan, Integritas teritorial, dan kemerdekaan negara Israel di wilayah tersebut.”
- Tahun 1973, pecah lagi perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, yakni Mesir dan Suriah, kecuali Yordania tidak ikut. Perang ini pecah tanggal 6 Oktober 1973, pada hari raya Yom Kippur, hari pesta keagamaan paling besar Yahudi. Serangan dilancarkan secara tiba-tiba oleh Mesir dan Suriah di saat orang Israel sedang khusuk berdoa, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadhan bagi umat Islam sehingga dinamakan “Perang Ramadhan 1973.” Walaupun Israel sempat menarik mundur pasukannya, tapi mobilisasi pasukan cadangan besar-besaran berhasil menghalau serangan sampai jauh memasuki wilayah Mesir dan Suriah.
- Tahun 1977, Presiden Anwar Sadat mengunjungi Israel dan pada tahun 1979 disepakati dan ditandatangani Pakta Perdamaian antara Mesir dan Israel. Kesepakatan ini berbuntut pada pembunuhan Anwar Sadat oleh militant fundamentalist Islam Arab yang tidak menyetujui perjanjian damai antara Arab-Israel.
- Tahun 1982, Israel mengadakan operasi “Damai Untuk Galilea” dan masuk ke Libanon selatan dan Tengah. Daerah pesisir mulai dari perbatasan Israel-Libanon diduduki pasukan Israel. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) diusir dari Libanon.
- Tahun 1985, Pasukan Israel ditarik mundur dari Libanon. Markas Besar PLO yang sementara itu telah dipindahkan ke Tunis (Tunisia), dihancurklan oleh Angkatan Udara Israel.
- Tahun 1987, timbullah gerakan “Intifadah”, gerakan perlawanan dari pihak masyarakat Palestina di daerah-daerah pendudukan Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza. Gerakan Intifadah itu masih berlangsung hingga 1993 yang melahirkan kelompok para militer Hisbullah dan Hamas.
- Tahun 1991, aneksasi Irak atas Quwait berbuntut pertempuran Irak melawan pasukan Multinasional (PBB) untuk mengusir Iraq dari Quwait. Membalas operasi Badai Gurun oleh pasukan sekutu, Iraq coba menyulut api kemarahan Israel dengan menembakkan rudal scud yang sempat mencederai kota Yerusalem dengan maksud memancing keterlibatan seluruh Arab Timur Tengah. Reaksi keras Israel hampir saja menjawab tantangan itu, namun berhasil diredam PBB sehingga penembakan rudal scud Iraq tidak dibalas oleh Israel. Serangan terhadap negeri seribu satu malam itu, kemudian berlanjut pada tahun 2003 oleh pasukan multinasional pimpinan Amerika yang berakhir dengan tertangkapnya Presiden Sadam Husein.
- 1993, ditandatanganinya Perjanjian Oslo-Norwegia yang bertujuan membangun kesepakatan damai antara Israel-Palestina, setelah bertahun-tahun melakukan kekerasan bersenjata. Kesepakatan damai ditandatangani oleh mantan Perdana Menteri Shimon Peres dan Wakil Menteri Luar Negeri Israel dan dari pihak Palestina diwakili oleh pemimpin PLO Yaser Arafat. Perjanjian Oslo I diratifikasi di Washington DC pada 1993 dan Oslo II di Taba-Mesir pada 1995. Pada perjanjian tersebut, PLO secara resmi mengakui keabsahan Israel sebagai negara merdeka. Sementara pihak Israel mengizinkan Otoritas Palestina untuk mendirikan negara merdeka dan memiliki pemerintahan otonom secara terbatas di Gaza dan Tepi Barat.[3] Namun Hamas menentang proses perdamaian itu dan tidak mengakui Israel, serta meninggalkannya dengan aksi pemboman bus dan kekerasan bersenjata ke Israel. Kesepakatan Oslo dilanjutkan dengan perjanjian Camp David pada tahun 2000 yang dimediasi oleh Presiden AS, Jimmy Carter, namun wakil dari pihak Palestina tidak menghadiri pembicaraan itu, maka kesepakatan itu gagal dan tidak diakui secara resmi oleh PBB.
- Kemudian timbul lagi Intifadah Palestina kedua yang dikenal dengan nama Al-Aqsa Intifadah[4], dimulai 29 September 2000 ketika Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan seribu pasukan bersenjata memasuki Mesjid Al-Aqsa, tempat persembunyian para militer Al-Fatah dan Hamas. Setelah perjanjian Camp David 2000 antara Israel-Palestina, Maret-April 2002 Israel membangun tembok pembatas di Tepi Barat yang dihadang serangkaian serangan bom bunuh diri. Juli 2004 Mahkamah Internasional menolak pembangunan tembok pembatas Israel, karena menyalahi hukum Internasional. Intifadah ini baru berakhir 8 Februari 2005.
- Pada 2006 tekanan internal dan internasional, penculikan, Teror dan Bom Bunuh diri mengepung Israel. Konflik internal antar faksi, yakni antar golongan kiri dan kanan, agamis dan non-agamis, agresif dan negosiasi diplomatis menyangkut perdamaian dan pembentukan negara Palestina. Musim panas 2006, sebuah roket menghantam Haifa, salah satu kota terbesar yang terletak di pertengahan wilayah Israel, dan berhasil melukai sejumlah warga serta meluluhlantakan kompleks apartemen. Serangan ini mengawali hari pertama perang Libanon kedua. Situasi dalam negeri Israel benar-benar membingungkan, di mana Israel sedang menandatangani perjanjian damai dengan Mesir, tapi Suriah mengambil-alih Lebanon serta memanfaatkan Hisbullah untuk menyerang Israel. Hingga perdana menteri Ehud Olmert di hadapan Knesset Israel memaklumatkan aksi balasan, bahwa perang takkan berakhir sebelum Hisbullah dilucuti dan tentara Israel yang diculik dikembalikan.
- Pecah kembali konflik Israel-Gaza 2008-2009 melanjutkan konfrontasi Israel dan Hamas yang terjadi setelah selesainya tenggang-waktu genjetan senjata selama 6 bulan. Israel melancarkan serangan udara sebagai Operasi Cast Lead terhadap Jalur Gaza sebagai balasan atas serangan roket oleh kelompok militan Hamas. Konon, ini bukanlah perang antar negara, yakni “Israel-Palestina”, tetapi Israel hanya mau mengejar para milisi Hamas salah satu faksi yang berkuasa di Palestina.
- 8 Juli 2014, kembali pecah konflik Hamas-Israel. Dengan dalil membalas penculikan dan pembunuhan terhadap tiga pemuda Israel oleh kelompok para militer Hamas, peluru kendali Israel membombardir Jalur Gaza. Tidak sedikit penduduk sipil, khususnya perempuan dan anak-anak menjadi korban sia-sia. Ratusan rumah hancur dan ribuan bangunan rusak parah. Militer Israel bahkan memperluas serangan militer sampai ke Libanon dan mengacuhkan seruan internasional agar menghentikan invasi militer dengan jalan damai. (bersambung)
[1] Voi.id-dikiri, yang mengutip ikadi.or.id, tentang Perubahan Wilayah Palestina dan Israel.
[2] Ilan Pappe, Pembersihan Etnis Palestina-Holocaust Kedua, Kompas Gramedia, Jakarta: 2009.
[3] Shintaloka Pradita Sicca, Perjanjian Oslo: Jejak Upaya Damai Atas Konflik Israel dan Palestina yang Terus Dilanggar, https://internasional. Kompas.com.
[4] Rabbi Shabsi Bulman, The Secret Power of Jews-how can the Jewish people always win a war, Pustaka Radja, Yogyakarta: 2010, p. 11
